Tuesday, September 2, 2014

The Echo of Your 'I Love You' Never Leaves My Mind

Aku memutuskan untuk berhenti mengeja namamu. Nama yang dulunya tak pernah sempat berhenti kusebut karena indahnya. Aku pun berubah menjadi bisu. Padahal aku dulu punya banyak sajak untuk diungkapkan. Juga nada-nada untuk dilantunkan. Bukannya sombong, tapi aku bahkan bisa menirukan debur ombak, kepak sayap kupu-kupu, semilir angin sore, dan belaian sayang matahari. Aku sudah menerima banyak pujian karenanya. Tapi tak ada satu pun dari pujian tersebut yang bisa mengalahkan milikmu. Pernahkah kau menyadarinya?

Kata orang, yang tuli pastilah bisu. Dan mereka mengatakannya bagai pengetahuan paling hebat zaman itu pada anak cucu mereka. Maka sejak hari dimana aku berhenti mengeja namamu dan menjadi bisu, semua orang percaya aku tuli. Ketika ada yang menyanggah bahwa aku tidak mungkin bisu terlebih dahulu baru kemudian tuli, yang lain mengatakan bisu dulu atau tuli dulu tidak ada bedanya. Dan yang lainnya lagi hanya mengangguk mengiyakan.

Jadi, mereka berhenti memujiku karena meyakini aku tak akan bisa mendengarnya. Lagipula mereka tak lagi mengerti apa yang bisa dipuji dariku. Aku tak bisa membuat keajaiban meletup-letup dari mulutku seperti dulu. Kata mereka aku sudah berubah menjadi bodoh, tidak ada yang bisa diharapkan dari orang bodoh sepertiku. Kini dari hari ke hari, mereka hanya bergantian menatapku dengan iba. Tanpa pernah sekalipun tersirat keinginan untuk menanyakan bagaimana kabarku.

Tapi aku tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan. Aku terlalu sibuk untuk mencoba mengeja namamu lagi hingga tak punya waktu untuk itu semua. Aku masih ingat dengan baik ke-26 alfabet, tapi aku tak ingat manakah huruf awal dari namamu, manakah huruf kedua, ketiga, keempat, hingga huruf terakhir dari namamu. Berharap berhasil, aku menyusun huruf-huruf tersebut tanpa punya rencana. Tapi hingga kesekian kalinya aku mencoba, tak satupun hasil terasa sesuai untukku. Itu semua bukan namamu.

Semakin mencoba, semakin melekat. Seperti itulah. Jika aku menghiraukan hal tersebut, aku tidak akan memutuskan untuk berhenti mengeja namamu dan berakhir seperti ini. Bukan karena aku jadi bisu dan tuli. Bukan juga karena aku haus akan pujian. Bukan. Tapi karena suaramu tiba-tiba saja hadir dan memenuhi ruanganku. Aku sudah mencoba menutup telingaku rapat-rapat tapi kau terlebih dulu berhasil merangkak masuk. Ketika aku menyadarinya, aku terlanjur tuli. Awalnya kukira tuli akan menjadi perlindungan diriku darimu. Ternyata tidak. Suaramu terus saja berdengung dalam ingatanku. Alih-alih semakin lirih, suaramu malah berubah menjadi irama konstan yang berlanjut. Gema yang tak sesuai dengan hukum alamnya. Yang makin lama makin mengganggu, makin lama makin menyakiti, makin lama makin membuatku tak sanggup lagi  menyangkal bahwa aku ingin memujimu dengan cara yang sama.

Sayangnya, aku terlambat. Aku tak lagi ingat namamu.

Saturday, June 7, 2014

Who did it to you?


Aku selalu ingin menanyakan hal tersebut pada banyak orang. Tapi aku memilih untuk menguburnya dalam-dalam mengingat pertanyaan tersebut bisa jadi terdengar lancang bagi sebagian orang. Mengapa? Karena jawaban atas pertanyaan tersebut pastilah sebuah nama. Atau bahkan beberapa nama. Padahal, some names will taste bitter. Beberapa nama terkadang memang sukar untuk diucapkan, kalau pun tidak, nama tersebut pasti hanya menjadi dengung dalam kepala. Kalau pun berhasil diucapkan, nama tersebut akan membuka sebuah pintu pada satu cerita lalu. Yang mau tidak mau, cepat ataupun lambat, akan kembali menjadi suatu hal yang berputar-putar dalam hitungan waktu. Yang katanya, tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan berhentinya.

Ada beberapa yang merasa tidak apa-apa dengan pertanyaan tersebut. Mereka adalah orang-orang yang dengan besar hati mau menjawab bahkan tidak segan-segan menceritakan apa yang ada dibalik nama tersebut ketika ditanya lebih jauh. Mereka merasa bahwa dengan begitu, mereka sudah satu langkah dalam melonggarkan lilitan. Semakin banyak mereka menjawab dan membagi, semakin terdengar biasa nama tersebut bagi mereka. Atau setidaknya, tidak seperih yang pertama. Tapi ada juga beberapa yang merasa perasaannya terkoyak habis-habisan dengan pertanyaan tersebut. Bagi mereka, dihujani pertanyaan seperti ini adalah alasan mengapa lilitan terasa semakin erat. Tidak mau mengambil konsekuensi, mereka memilih untuk menghindar. Tapi aku berani bertaruh, sepersekian detik setelah menghindari, nama tersebut malah memenuhi ruangan. Dan hanya mereka saja yang mampu melihat sesaknya.

Jadi benar, kan, jika ku katakan bahwa pertanyaan tersebut terdengar lancang. Beberapa nama memang membawa mimpi buruk. Mendengarnya sama dengan melukai perasaan. Tapi, sekali ini saja, biarkan aku menanyakannya pada kalian. Who did it to you?