Aku memutuskan untuk berhenti mengeja namamu. Nama yang dulunya tak pernah sempat berhenti kusebut karena indahnya. Aku pun berubah menjadi bisu. Padahal aku dulu punya banyak sajak untuk diungkapkan. Juga nada-nada untuk dilantunkan. Bukannya sombong, tapi aku bahkan bisa menirukan debur ombak, kepak sayap kupu-kupu, semilir angin sore, dan belaian sayang matahari. Aku sudah menerima banyak pujian karenanya. Tapi tak ada satu pun dari pujian tersebut yang bisa mengalahkan milikmu. Pernahkah kau menyadarinya?
Kata orang, yang tuli pastilah bisu. Dan mereka mengatakannya bagai pengetahuan paling hebat zaman itu pada anak cucu mereka. Maka sejak hari dimana aku berhenti mengeja namamu dan menjadi bisu, semua orang percaya aku tuli. Ketika ada yang menyanggah bahwa aku tidak mungkin bisu terlebih dahulu baru kemudian tuli, yang lain mengatakan bisu dulu atau tuli dulu tidak ada bedanya. Dan yang lainnya lagi hanya mengangguk mengiyakan.
Jadi, mereka berhenti memujiku karena meyakini aku tak akan bisa mendengarnya. Lagipula mereka tak lagi mengerti apa yang bisa dipuji dariku. Aku tak bisa membuat keajaiban meletup-letup dari mulutku seperti dulu. Kata mereka aku sudah berubah menjadi bodoh, tidak ada yang bisa diharapkan dari orang bodoh sepertiku. Kini dari hari ke hari, mereka hanya bergantian menatapku dengan iba. Tanpa pernah sekalipun tersirat keinginan untuk menanyakan bagaimana kabarku.
Tapi aku tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan. Aku terlalu sibuk untuk mencoba mengeja namamu lagi hingga tak punya waktu untuk itu semua. Aku masih ingat dengan baik ke-26 alfabet, tapi aku tak ingat manakah huruf awal dari namamu, manakah huruf kedua, ketiga, keempat, hingga huruf terakhir dari namamu. Berharap berhasil, aku menyusun huruf-huruf tersebut tanpa punya rencana. Tapi hingga kesekian kalinya aku mencoba, tak satupun hasil terasa sesuai untukku. Itu semua bukan namamu.
Semakin mencoba, semakin melekat. Seperti itulah. Jika aku menghiraukan hal tersebut, aku tidak akan memutuskan untuk berhenti mengeja namamu dan berakhir seperti ini. Bukan karena aku jadi bisu dan tuli. Bukan juga karena aku haus akan pujian. Bukan. Tapi karena suaramu tiba-tiba saja hadir dan memenuhi ruanganku. Aku sudah mencoba menutup telingaku rapat-rapat tapi kau terlebih dulu berhasil merangkak masuk. Ketika aku menyadarinya, aku terlanjur tuli. Awalnya kukira tuli akan menjadi perlindungan diriku darimu. Ternyata tidak. Suaramu terus saja berdengung dalam ingatanku. Alih-alih semakin lirih, suaramu malah berubah menjadi irama konstan yang berlanjut. Gema yang tak sesuai dengan hukum alamnya. Yang makin lama makin mengganggu, makin lama makin menyakiti, makin lama makin membuatku tak sanggup lagi menyangkal bahwa aku ingin memujimu dengan cara yang sama.
Sayangnya, aku terlambat. Aku tak lagi ingat namamu.
No comments:
Post a Comment