Hari ini aku menjenguknya. Setelah menanyakan pada seorang
suster dimana letak kamar tempat dia menginap, aku segera berterimakasih lalu berlalu.
Tangan kananku membawa sekeranjang apel, hadiah mainstream untuk orang
sakit dengan sisipan doa semoga cepat sembuh di tiap-tiapnya. Cukup banyak,
tapi aku tidak takut apel-apel ini akan dibiarkannya begitu saja. Kenapa?
Karena ini apel dan dia sangat menyukainya. Aku tahu benar itu. Berbeda dengan
hadiah kecil lain yang aku bawakan untuknya, di dalam tasku. Aku takut hadiah
itu tidak akan berarti apa-apa untuknya. Aku takut dia akan membiarkannya
begitu saja tanpa minat. Lebih buruk lagi kalau dia malah mengepaknya ke dalam
kardus lalu meletakkannya di dalam gudang.
Menepis semua pikiran buruk tentang hadiah yang hanya akan
dibiarkannya, pikiranku berganti menjadi membuat sendiri percakapan yang
kira-kira akan terjadi di dalam kamarnya nanti. Antara aku dengan dia, tentu
saja. Sebenarnya kami tidak pernah bicara banyak. Dia diam. Tapi sama seperti
biasanya, aku tidak peduli. Nanti, aku akan mengajaknya berbicara, meskipun aku
tahu, kemungkinannya sedikit sekali untuk disahuti olehnya. Ya, aku hanya tidak
akan membiarkan keadaan jadi semakin buruk dengan atmosfer serba diam. Tapi
bagaimana caranya membuka percakapan pun, aku tidak tahu. Aku masih berpikir
keras untuk itu.
Aku memasuki lorong dimana kamarnya berada. Baru beberapa
langkah, kakiku sudah berhenti. Rasanya kaget, berat sekali untuk meneruskan.
Semua percakapan hasil buatanku sendiri hilang sudah. Satu-satunya yang aku
pikirkan sekarang hanya mereka. Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
baru saja keluar dari kamarnya. Laki-laki itu menggandeng tangan si perempuan
dan berjalan di depannya, lebih cepat. Si perempuan berusaha menjajarkan
langkah tapi dia kesusahan. Mereka terus berjalan, berlawanan arah denganku,
kami berpapasan. Keduanya menjatuhkan pandangan padaku. Begitu saja, tanpa
melakukan hal lain selain menatap-yang entah apa artinya-lalu melewatinya
begitu saja.
Mereka sudah berlalu. Tapi kakiku rasanya masih enggan untuk
melanjutkan jalan. Kepalaku masih terus berputar mencari jawaban atas
pertanyaan yang aku ciptakan sendiri. Apa yang mereka lakukan disana? Apa
mereka baru saja menjenguknya juga? Tapi mengapa? Mengapa mereka menjenguknya?
Lalu apa yang terjadi di dalam sana? Apa dia baik-baik saja melihatnya?
Memikirkan apakah dia baik-baik saja membuat semua keenggananku buyar. Dia
harus baik-baik saja. Aku harus memastikan.
Ketika aku membuka pintu kamarnya, aku menemukannya duduk
dengan posisi memeluk kaki. Di atas kursi, di depan meja kosong. Tanpa bertanya
pun, aku tahu apa yang sebelumnya berada di sana. Pasti bingkai foto yang itu.
Yang sekarang kacanya sudah pecah dan tersebar di lantai. Mendengarnya terisak
samar-samar, aku jadi mengerti apa yang baru saja terjadi. Jelas aku hanya
mengira-ngira, tapi aku pasti tidak salah. Sekarang aku jadi ingin menangis
juga, menemaninya. Kau tahu, kan, bagaimana rasanya ketika seseorang yang kau
sayangi menangis, pasti ada bagian dari dirimu yang juga ikut bersedih. Rasanya
seperti kau bisa merasakan bagaimana sakitnya juga. Rasanya seperti kau tidak
bisa membiarkannya menanggung semuanya sendirian.
Aku meletakkan keranjang buah dan tasku berdampingan di
meja, di hadapannya.
Berjalan padanya. Memeluknya dari samping.
“Hari yang berat, ya? Tenang saja, menangis tidak ada
salahnya, kok. Tapi setelah ini berjanjilah padaku untuk berhenti menangis, ya.
Kau akan sembuh dan kemudian semua akan jadi baik-baik saja lagi. Percayalah
padaku.”
Dia diam, terisak.
“Hari yang berat tidak berarti tidak bisa makan apel, kan?
Coba lihat. Aku bawakan kau sekeranjang apel. Kau suka, kan? Setelah kau
berhenti menangis, ambil satu lalu makanlah. Semua akan jadi baik-baik saja,
sungguh.”
Dia masih diam, masih terisak.
“Jangan turunkan kakimu dulu, ya. Pecahan kacanya masih
berantakan. Kau mau aku membersihkannya? Aku akan menyimpan fotonya di laci
itu. Nanti kau bisa mencari lagi bingkai untuknya. Apa kau mau aku menyimpan
bingkainya juga?”
Dia tetap diam, tetap terisak.
“Baiklah, aku bersihkan sekarang, ya. Aku akan ambilkan
sandal kamarmu setelahnya. Tunggu, ya.”
Aku melepaskan pelukanku. Berjalan ke ujung ruangan dimana
sapu dan tempat sampah berada. Aku memunggut foto itu lalu meletakkannya di
atas meja. Memasukkan pecahan-pecahan kacanya lalu menyapu sisanya. Mengambil
sandal kamar untuknya. Dia tetap saja memeluk lututnya namun tangisnya sudah
berhenti. Terkadang aku heran, heran sekali melihat bagaimana bisa seorang
laki-laki yang jelas menangis namun masih saja berusaha menyembunyikannya
seperti itu. Apa mereka malu? Padahal dengan menangis, bukan berarti mereka lemah.
Menangis menunjukkan kenormalan. Menangis juga bisa membuat mereka merasa
baik-baik saja setelahnya. Lagipula, apa yang dilakukannya bukanlah tangisan
histeris seperti yang banyak dilakukan oleh perempuan. Hanya isakan. Tapi
rasanya berarti banyak. Kalau boleh berandai-andai, sekali saja aku ingin
tangisan semacam itu ditujukan padaku.
Aku berbalik, menghadap meja. Entah apa yang membuatku
meraih foto yang tadi ku letakkan disana. Siluet milik perempuan yang sama, selalu,
siapa lagi. Tiba-tiba, aku jadi ingin menanyakan apa yang terjadi ketika mereka
berada disini. Apa yang mereka lakukan hingga bisa membuatnya menangis. Tapi
kuurungkan niatku, aku yakin hal itu hanya akan membuatnya merasa semakin tidak
baik-baik saja.
Keranjang buahnya bergeser. Aku berbalik, ke arahnya. Dia,
kakinya sudah diturunkan dan memakai sandal kamar. Tangannya yang menarik
keranjang buah agar dapat mengambil sebuah apel dengan lebih mudah. Mengusap
permukaannya dengan ujung baju lalu menggigitnya.
Melihat hal itu, perasaanku buncah. Senang sekali. Sudah
kubilang, dia tidak akan membiarkan apelnya begitu saja. Aku jadi teringat
hadiah kecilku, mungkin ini waktu yang tepat untuk memberikannya. Aku berbalik
lagi, meraih tasku.
“Aku membawakanmu hadiah. Ini,” aku mengulurkan hadiah
tersebut padanya.
Dia menoleh. Menatap kotak di tanganku.
“Kau mau membukanya?”
Dia menatapku. Itu artinya, kau saja.
“Baiklah,” aku membuka kotaknya, “voila!” aku
tersenyum lebar. Mengangkat hadiah tersebut tepat di depannya.
Dia tetap mengunyah apel. Matanya seolah berkata, itu apa.
“Ini gantungan jendela. Bagus tidak? Aku menemukan ini di
etalase toko yang aku lewati ketika pergi kemari. Entah, aku hanya ingin saja
membelinya untukmu. Siapa tahu, ini akan membuat kamarmu sedikit lebih ramai.
Aku gantungkan disana, ya. Biarkan angin mengusiknya, oke,”
Aku berjalan ke arah jendela, mengikatkan talinya pada lis kedua.
Tidak terpakai, kosong.
Aku kembali berjalan padanya yang tetap saja mengunyah apel.
Aku memeluknya lagi dari samping. Kau tahu, aku suka sekali memeluknya. Ya, aku
hanya memeluknya pada saat-saat tertentu. Kau boleh membacanya sebagai mencuri
kesempatan. Tapi bukankah ini yang bisa kau lakukan untuk seseorang yang sedang
bersedih? Aku hanya berharap pelukanku memberikan rasa nyaman hingga dia bisa
merasa sedikit lebih baik. Itu saja. Aku tidak berharap ini membuat lukanya
hilang atau bahkan membuat dia menyadari sesuatu tentang diriku. Lagipula aku tahu,
yang bisa membuatnya sembuh hanya dia. Siapa lagi kalau bukan perempuan pemilik
siluet dalam bingkai yang pecah tadi.
Tidakkah kau tertarik untuk bertanya mengapa aku memilih
yang berbentuk bintang?
Seolah tidak ingin menjawab apa yang ada di kepalaku, dia
melepaskan pelukanku. Berdiri, membuang sisa apel ke dalam tempat sampah,
berjalan ke arah tempat tidur. Menutupi dirinya dengan selimut. Menghadap
dinding.
Diperlakukan seperti itu, aku tahu kalau ini berarti waktuku
untuk pulang sudah tiba. Segera aku ambil tasku.
“Kau, jangan terlalu banyak memikirkannya dulu, ya. Nanti
lebih sakit lagi,”
“Jangan berkata seolah kau mengenalku,” dia menyahuti.
“Maaf,” aku terhenyak, kaget, “aku hanya tidak ingin kau
jadi lebih sakit.”
Dia belum menyahuti.
“Kau seharusnya mampu
membuka mata. Coba lihat, yang dia inginkan bukan dirimu. Coba lihat apa yang
dia lakukan terhadapmu tadi. Seharusnya dia tahu itu bisa membuatmu jadi lebih
sakit. Kau tidak bisa seperti ini terus. Kau harus lihat apa yang sesungguhnya
terjadi,”
Dia masih saja diam.
“Kenapa tidak menyahuti lagi? Ini sudah yang ke berapa
kalinya kau masuk rumah sakit dan aku tidak pernah absen menjengukmu. Hari ini
aku bahkan membawakanmu apel dan bintang itu. Apalagi yang luput dari matamu?”
“Kalau kau mau pergi, pergi saja. Kau sudah membuka
pintunya, kan?”
Aku terhenyak sekali lagi, kaget. Bagaimana dia bisa
mengatakan apa yang baru saja dia katakan.
“Baik, aku akan pergi. Suatu hari kau harus tahu, ada
hal-hal yang seharusnya memang tidak kau miliki. Dan itu semua bukan tanpa
alasan. Aku heran bagaimana bisa ada orang sepertimu, mengabaikan yang dekat
hanya untuk memperhatikan yang jauh. Aku sudah bawakan kau satu bintang, jadi aku
harap kau tidak perlu repot-repot menengok ke langit malam lagi. Mencari satu
yang dari dulu hingga sekarang tak bisa kau dapati karena terlalu jauh.”
Aku melihat punggungnya sekali lagi. Berharap dia berbalik sekadar
mengatakan sesuatu tapi dia tetap tidak bergeming. Diam. Tapi ketika aku keluar
dan pintu hampir tertutup, dia mengatakan sesuatu. Dan aku segera menutup pintunya
rapat-rapat. Rasanya seperti pion raja yang sudah terpojokkan posisinya. Check
mate.
Aku sudah berada diluar dan kusandarkan punggungku ke
dinding. Lorong ini sepi, bagus karena tidak akan ada yang mendengarku
sekarang. Aku terisak. Kalau boleh berandai-andai, sekali saja aku ingin ada
seseorang yang juga melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan padanya
ketika ia menangis. Dan aku harap seseorang itu dia.
…
“Aku harap kau sempat berkaca sebelum mengatakan semua yang
kau katakan tadi, Carina. Kalau kau bisa mendengar apa yang kau sendiri
ucapkan, rasanya pasti seperti mimpi buruk.”
No comments:
Post a Comment