Tuesday, May 7, 2013

Siluet.

Ketika mendengarnya masuk rumah sakit, rasanya aku ingin pingsan. Pasalnya, aku tidak habis pikir bagaimana dia bisa selalu membiarkan dirinya sendiri merasakan sakit hingga harus menginap di rumah sakit. Semua itu selalu saja karena hal yang sama, terlalu banyak pikiran, tidak nafsu makan, insomnia akut. Aku tahu dia pasti tahu kalau dia tidak sebaiknya melakukan hal-hal itu terus-menerus. Tapi hatinya? Hatinya seperti tidak peduli. Terlalu sibuk memperhatikan foto dalam bingkai tersebut. Foto yang sama. Selalu saja. Kalau aku tega untuk membuangnya, aku pasti sudah membuangnya sejak dulu. Atau bahkan melakukan yang lebih baik dari itu, mengganti foto di dalamnya. Dengan fotoku, mungkin. Siapa tahu dia mau. Sayangnya, aku bukan siapa-siapa untuk bisa melakukan hal itu.

Hari ini aku menjenguknya. Setelah menanyakan pada seorang suster dimana letak kamar tempat dia menginap, aku segera berterimakasih lalu berlalu. Tangan kananku membawa sekeranjang apel, hadiah mainstream untuk orang sakit dengan sisipan doa semoga cepat sembuh di tiap-tiapnya. Cukup banyak, tapi aku tidak takut apel-apel ini akan dibiarkannya begitu saja. Kenapa? Karena ini apel dan dia sangat menyukainya. Aku tahu benar itu. Berbeda dengan hadiah kecil lain yang aku bawakan untuknya, di dalam tasku. Aku takut hadiah itu tidak akan berarti apa-apa untuknya. Aku takut dia akan membiarkannya begitu saja tanpa minat. Lebih buruk lagi kalau dia malah mengepaknya ke dalam kardus lalu meletakkannya di dalam gudang.

Menepis semua pikiran buruk tentang hadiah yang hanya akan dibiarkannya, pikiranku berganti menjadi membuat sendiri percakapan yang kira-kira akan terjadi di dalam kamarnya nanti. Antara aku dengan dia, tentu saja. Sebenarnya kami tidak pernah bicara banyak. Dia diam. Tapi sama seperti biasanya, aku tidak peduli. Nanti, aku akan mengajaknya berbicara, meskipun aku tahu, kemungkinannya sedikit sekali untuk disahuti olehnya. Ya, aku hanya tidak akan membiarkan keadaan jadi semakin buruk dengan atmosfer serba diam. Tapi bagaimana caranya membuka percakapan pun, aku tidak tahu. Aku masih berpikir keras untuk itu.

Aku memasuki lorong dimana kamarnya berada. Baru beberapa langkah, kakiku sudah berhenti. Rasanya kaget, berat sekali untuk meneruskan. Semua percakapan hasil buatanku sendiri hilang sudah. Satu-satunya yang aku pikirkan sekarang hanya mereka. Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang baru saja keluar dari kamarnya. Laki-laki itu menggandeng tangan si perempuan dan berjalan di depannya, lebih cepat. Si perempuan berusaha menjajarkan langkah tapi dia kesusahan. Mereka terus berjalan, berlawanan arah denganku, kami berpapasan. Keduanya menjatuhkan pandangan padaku. Begitu saja, tanpa melakukan hal lain selain menatap-yang entah apa artinya-lalu melewatinya begitu saja.

Mereka sudah berlalu. Tapi kakiku rasanya masih enggan untuk melanjutkan jalan. Kepalaku masih terus berputar mencari jawaban atas pertanyaan yang aku ciptakan sendiri. Apa yang mereka lakukan disana? Apa mereka baru saja menjenguknya juga? Tapi mengapa? Mengapa mereka menjenguknya? Lalu apa yang terjadi di dalam sana? Apa dia baik-baik saja melihatnya? Memikirkan apakah dia baik-baik saja membuat semua keenggananku buyar. Dia harus baik-baik saja. Aku harus memastikan.

Ketika aku membuka pintu kamarnya, aku menemukannya duduk dengan posisi memeluk kaki. Di atas kursi, di depan meja kosong. Tanpa bertanya pun, aku tahu apa yang sebelumnya berada di sana. Pasti bingkai foto yang itu. Yang sekarang kacanya sudah pecah dan tersebar di lantai. Mendengarnya terisak samar-samar, aku jadi mengerti apa yang baru saja terjadi. Jelas aku hanya mengira-ngira, tapi aku pasti tidak salah. Sekarang aku jadi ingin menangis juga, menemaninya. Kau tahu, kan, bagaimana rasanya ketika seseorang yang kau sayangi menangis, pasti ada bagian dari dirimu yang juga ikut bersedih. Rasanya seperti kau bisa merasakan bagaimana sakitnya juga. Rasanya seperti kau tidak bisa membiarkannya menanggung semuanya sendirian.

Aku meletakkan keranjang buah dan tasku berdampingan di meja, di hadapannya.

Berjalan padanya. Memeluknya dari samping.

“Hari yang berat, ya? Tenang saja, menangis tidak ada salahnya, kok. Tapi setelah ini berjanjilah padaku untuk berhenti menangis, ya. Kau akan sembuh dan kemudian semua akan jadi baik-baik saja lagi. Percayalah padaku.”

Dia diam, terisak.

“Hari yang berat tidak berarti tidak bisa makan apel, kan? Coba lihat. Aku bawakan kau sekeranjang apel. Kau suka, kan? Setelah kau berhenti menangis, ambil satu lalu makanlah. Semua akan jadi baik-baik saja, sungguh.”

Dia masih diam, masih terisak.

“Jangan turunkan kakimu dulu, ya. Pecahan kacanya masih berantakan. Kau mau aku membersihkannya? Aku akan menyimpan fotonya di laci itu. Nanti kau bisa mencari lagi bingkai untuknya. Apa kau mau aku menyimpan bingkainya juga?”

Dia tetap diam, tetap terisak.

“Baiklah, aku bersihkan sekarang, ya. Aku akan ambilkan sandal kamarmu setelahnya. Tunggu, ya.”

Aku melepaskan pelukanku. Berjalan ke ujung ruangan dimana sapu dan tempat sampah berada. Aku memunggut foto itu lalu meletakkannya di atas meja. Memasukkan pecahan-pecahan kacanya lalu menyapu sisanya. Mengambil sandal kamar untuknya. Dia tetap saja memeluk lututnya namun tangisnya sudah berhenti. Terkadang aku heran, heran sekali melihat bagaimana bisa seorang laki-laki yang jelas menangis namun masih saja berusaha menyembunyikannya seperti itu. Apa mereka malu? Padahal dengan menangis, bukan berarti mereka lemah. Menangis menunjukkan kenormalan. Menangis juga bisa membuat mereka merasa baik-baik saja setelahnya. Lagipula, apa yang dilakukannya bukanlah tangisan histeris seperti yang banyak dilakukan oleh perempuan. Hanya isakan. Tapi rasanya berarti banyak. Kalau boleh berandai-andai, sekali saja aku ingin tangisan semacam itu ditujukan padaku.

Aku berbalik, menghadap meja. Entah apa yang membuatku meraih foto yang tadi ku letakkan disana. Siluet milik perempuan yang sama, selalu, siapa lagi. Tiba-tiba, aku jadi ingin menanyakan apa yang terjadi ketika mereka berada disini. Apa yang mereka lakukan hingga bisa membuatnya menangis. Tapi kuurungkan niatku, aku yakin hal itu hanya akan membuatnya merasa semakin tidak baik-baik saja.

Keranjang buahnya bergeser. Aku berbalik, ke arahnya. Dia, kakinya sudah diturunkan dan memakai sandal kamar. Tangannya yang menarik keranjang buah agar dapat mengambil sebuah apel dengan lebih mudah. Mengusap permukaannya dengan ujung baju lalu menggigitnya.

Melihat hal itu, perasaanku buncah. Senang sekali. Sudah kubilang, dia tidak akan membiarkan apelnya begitu saja. Aku jadi teringat hadiah kecilku, mungkin ini waktu yang tepat untuk memberikannya. Aku berbalik lagi, meraih tasku.

“Aku membawakanmu hadiah. Ini,” aku mengulurkan hadiah tersebut padanya.

Dia menoleh. Menatap kotak di tanganku.

“Kau mau membukanya?”

Dia menatapku. Itu artinya, kau saja.

“Baiklah,” aku membuka kotaknya, “voila!” aku tersenyum lebar. Mengangkat hadiah tersebut tepat di depannya.

Dia tetap mengunyah apel. Matanya seolah berkata, itu apa.

“Ini gantungan jendela. Bagus tidak? Aku menemukan ini di etalase toko yang aku lewati ketika pergi kemari. Entah, aku hanya ingin saja membelinya untukmu. Siapa tahu, ini akan membuat kamarmu sedikit lebih ramai. Aku gantungkan disana, ya. Biarkan angin mengusiknya, oke,”

Aku berjalan ke arah jendela, mengikatkan talinya pada lis kedua. Tidak terpakai, kosong.

Aku kembali berjalan padanya yang tetap saja mengunyah apel. Aku memeluknya lagi dari samping. Kau tahu, aku suka sekali memeluknya. Ya, aku hanya memeluknya pada saat-saat tertentu. Kau boleh membacanya sebagai mencuri kesempatan. Tapi bukankah ini yang bisa kau lakukan untuk seseorang yang sedang bersedih? Aku hanya berharap pelukanku memberikan rasa nyaman hingga dia bisa merasa sedikit lebih baik. Itu saja. Aku tidak berharap ini membuat lukanya hilang atau bahkan membuat dia menyadari sesuatu tentang diriku. Lagipula aku tahu, yang bisa membuatnya sembuh hanya dia. Siapa lagi kalau bukan perempuan pemilik siluet dalam bingkai yang pecah tadi.

Tidakkah kau tertarik untuk bertanya mengapa aku memilih yang berbentuk bintang?

Seolah tidak ingin menjawab apa yang ada di kepalaku, dia melepaskan pelukanku. Berdiri, membuang sisa apel ke dalam tempat sampah, berjalan ke arah tempat tidur. Menutupi dirinya dengan selimut. Menghadap dinding.

Diperlakukan seperti itu, aku tahu kalau ini berarti waktuku untuk pulang sudah tiba. Segera aku ambil tasku.

“Kau, jangan terlalu banyak memikirkannya dulu, ya. Nanti lebih sakit lagi,”

“Jangan berkata seolah kau mengenalku,” dia menyahuti.

“Maaf,” aku terhenyak, kaget, “aku hanya tidak ingin kau jadi lebih sakit.”

Dia belum menyahuti.

“Kau seharusnya  mampu membuka mata. Coba lihat, yang dia inginkan bukan dirimu. Coba lihat apa yang dia lakukan terhadapmu tadi. Seharusnya dia tahu itu bisa membuatmu jadi lebih sakit. Kau tidak bisa seperti ini terus. Kau harus lihat apa yang sesungguhnya terjadi,”

Dia masih saja diam.

“Kenapa tidak menyahuti lagi? Ini sudah yang ke berapa kalinya kau masuk rumah sakit dan aku tidak pernah absen menjengukmu. Hari ini aku bahkan membawakanmu apel dan bintang itu. Apalagi yang luput dari matamu?”

“Kalau kau mau pergi, pergi saja. Kau sudah membuka pintunya, kan?”

Aku terhenyak sekali lagi, kaget. Bagaimana dia bisa mengatakan apa yang baru saja dia katakan.

“Baik, aku akan pergi. Suatu hari kau harus tahu, ada hal-hal yang seharusnya memang tidak kau miliki. Dan itu semua bukan tanpa alasan. Aku heran bagaimana bisa ada orang sepertimu, mengabaikan yang dekat hanya untuk memperhatikan yang jauh. Aku sudah bawakan kau satu bintang, jadi aku harap kau tidak perlu repot-repot menengok ke langit malam lagi. Mencari satu yang dari dulu hingga sekarang tak bisa kau dapati karena terlalu jauh.”

Aku melihat punggungnya sekali lagi. Berharap dia berbalik sekadar mengatakan sesuatu tapi dia tetap tidak bergeming. Diam. Tapi ketika aku keluar dan pintu hampir tertutup, dia mengatakan sesuatu. Dan aku segera menutup pintunya rapat-rapat. Rasanya seperti pion raja yang sudah terpojokkan posisinya. Check mate.

Aku sudah berada diluar dan kusandarkan punggungku ke dinding. Lorong ini sepi, bagus karena tidak akan ada yang mendengarku sekarang. Aku terisak. Kalau boleh berandai-andai, sekali saja aku ingin ada seseorang yang juga melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan padanya ketika ia menangis. Dan aku harap seseorang itu dia.


“Aku harap kau sempat berkaca sebelum mengatakan semua yang kau katakan tadi, Carina. Kalau kau bisa mendengar apa yang kau sendiri ucapkan, rasanya pasti seperti mimpi buruk.”

No comments:

Post a Comment