Bagiku, siluet perempuan itu ibarat candu untuknya. Dia tahu
siluet itu terlalu jauh tapi dia tetap tidak bisa menjauh. Bahkan untuk
berhenti menggapai barang sejenak saja, dia butuh waktu berpikir berkali-kali.
Dengan jawaban akhir yang bisa ditebak-tidak-untuk itu. Mungkin suatu hari
nanti dia benar-benar butuh seorang terapis. Tapi bagiku, terapis dari negeri
manapun, dari belahan bumi manapun, tidak akan pernah bisa membuat dia sadar
dengan mudah. Dia sendiri sudah menghabiskan tahunan untuk menyukai siluet
perempuan itu. Jadi kurasa, terapis manapun juga membutuhkan waktu tahunan
untuk menyembuhkannya. Mungkin juga lebih baik kalau mereka mencari siluet dari
perempuan lain, meskipun sebenarnya ini buruk karena terdengar memaksa. Tapi
siapa tahu, dia bisa berpaling.
Hari ini aku menjenguknya. Lalu berdiri di depan siluet perempuan itu, menghalangi pandangannya. Pandangan harap agar dibalas, yang jika kau perhatikan baik-baik, ada ratusan tangan rakus disana. Mencoba menarik siluet perempuan itu, bagian demi bagian, kemudian cepat-cepat memasukkannya jauh ke dalam pandangan matanya. Menyimpannya seolah bagian-bagian itu bisa disusun seperti lego, berharap di dalam sana, siluet perempuan itu bisa terbentuk dengan jelas. Jadi ketika dia mendapati hari sudah malam dan saatnya untuk terlelap, dia masih bisa menikmati siluet perempuan itu dalam mimpinya.
Terhalanginya pandangan matanya membuatnya melirikku. Memandang
wajahku tanpa ada perasaan tertarik sedikitpun dengan kehadiranku. Tapi ratusan
tangan dalam matanya mendadak menarik diri mereka sendiri, menjatuhkan
bagian-bagian dari siluet perempuan yang sedang mereka genggam ke tanah.
Seperti ketakutan, mencoba mencari tempat bersembunyi dari sesuatu,
tangan-tangan itu tak mencoba untuk keluar lagi. Tapi dia tetap tidak
bergeming, tidak setakut ratusan tangan dalam matanya. Dengan tetap memandang
ke arahku, tangan kanannya tergerak. Mencengkeram pergelangan tanganku lalu
mencoba mendorong diriku ke samping. Cengkeraman yang kuat, bahkan terasa
sakit. Membuatku menuruti perintah tangan kanannya yang seolah berkata bahwa
aku menghalangi tuannya.
Aku tergeser tepat di samping siluet perempuan itu.
Pandangan mata yang tertuju padaku, kembali lagi menatap siluet perempuan itu
dalam-dalam. Ratusan tangan yang tadinya masuk bersembunyi, kembali keluar
perlahan karena ragu-ragu dan takut. Sama seperti pandangan matanya, kembali
terfokus pada siluet perempuan itu, mereka mengambil bagian-bagiannya lagi.
Cepat-cepat, terburu waktu yang hampir malam. Sama terburunya seperti aku yang
kembali menghalangi pandangannya, membuyarkan kegiatan ratusan tangan dalam
matanya. Lagi, dia menatap tanpa arti, mencengkeram tanganku, menggeser ke
samping, dan tak lama kemudian aku kembali menghalangi. Demikian terus hingga
terjadi berulang kali. Hingga akhirnya dia mengalah dan berhenti. Tangan
kanannya sudah lelah mencengkeram dan ratusan tangan dalam matanya sudah lelah
tertakuti oleh apapun yang aku sendiri tidak tahu. Kini aku di depannya,
menghalangi , dan dia masih tetap tidak melakukan apapun. Tapi pandangan
matanya dibuang, tidak menatapku. Dia bergumam. Padaku.
“Kau berulang kali menghalangi pandanganku pada satu-satunya
hal yang bisa membuatku bertahan. Tidakkah kau tahu bahwa hal itu lebih kepada
obat dibandingkan dengan penyebab sakit ini sendiri? Sukarkah kau pergi dari
sini dan membiarkanku menikmati apa yang sedang aku lakukan? Aku hampir saja
selesai mengambil setiap bagiannya tapi kau menghalangi. Kau ingin tidurku
tidak nyenyak?” katanya padaku, tegas. Tidak, aku yakin dia tidak marah.
“Berhentilah berbicara seolah dia memang benar satu-satunya
hal yang bisa membuatmu bertahan,”
“Berhentilah berbicara seolah kau benar-benar mengertiku,”
dia menatapku. Datar, tak seinci saja bibirnya tertarik membentuk senyum atau
alisnya terangkat seolah dia tersinggung.
Aku terhenyak. Aku memang tidak mengertinya, lebih tepatnya tidak
mengerti seperti apa rasanya menyayangi seseorang dengan benar namun tidak ada
bagian dari diri seseorang itu yang bisa dimiliki selain siluetnya. Seperti
dia. Sebenarnya siluet perempuan yang dimilikinya itu bukan benar-benar siluet,
hanya sebuah foto bayangan seseorang yang tergambar jelas pada tanah sore hari dalam
bingkai sederhana. Itu bukan satu-satunya foto siluet perempuan itu yang dia
miliki, ada beberapa lagi dalam ruangannya. Foto-foto itu semuanya berada dalam
bingkai sederhana. Namun, foto yang dia bawa kemari, siluet perempuan yang dari
tadi dipandanginya, adalah yang paling dia sukai.
Dia bukan fotografer, dia hanya suka bermain dengan
kameranya. Sekadar hobi. Dia bukan pendiam, namun terkadang segala sesuatu
sulit dia ungkapkan apalagi soal perasaan. Tapi, soal foto itu, dia
mengatakannya padaku, suatu hari, ketika kami berada dalam satu ruangan maya,
bahasan tentang apa yang kira-kira bisa membuatmu tetap bertahan ketika kau
jatuh dalam menyayangi seseorang. Dia bilang, siluet. Aku katakan kalau aku
tidak mengerti maksudnya. Lalu dia bilang, yang dia maksud adalah ini, lalu dia
mengirimkan sebuah foto. Foto itu, foto bayangan perempuan yang tergambar jelas
pada tanah sore hari, yang dia bawa kemari. Dia bilang, hanya dengan melihat
foto itu, dia seperti sedang melihat perempuan itu tersenyum seperti ketika dia
benar-benar tersenyum padanya. Aku bertanya, mengapa dia tidak langsung
mengambil foto ketika perempuan itu tersenyum saja, bukan siluetnya. Dia
bilang, dia terlalu takut untuk itu. Dia bilang, siluet itu sudah cukup untuk
dimiliki sebagai permulaan. Seperti keinginan manusia yang biasa bermula dari
mimpi. Dan aku, aku yang tidak mengerti harus mengatakan apa lagi, menjawabnya
dengan sebuah emoticon, emoticon tersenyum. Aku tidak ingin buang-buang
waktu untuk bertanya atau mencari tahu siapa perempuan dibalik siluet itu karena
aku rasa meskipun aku ingin tahu, aku tidak ada hak untuk mengetahuinya dan
lagipula, kalau dia memang ingin mengatakannya, dia akan mengatakannya.
“Maaf,” aku menelan ludah, “aku hanya merasa tidak bisa
membiarkanmu seperti ini terus-menerus. Aku tahu, aku mungkin memang bukan
siapa-siapa untukmu, tapi siapapun yang melihatmu dalam kondisi seperti ini
pasti berharap kau cepat sembuh, termasuk aku. Jangan menganggap ini sebagai
bentuk mengasihani, memiliki posisi seperti dirimu memang sulit, tapi coba
lihat, apa kau ingin terus seperti ini?”
Dia hanya diam, sambil tetap menatapku.
“Aku mungkin memang tidak tahu siapa pemilik siluet itu. Aku
juga tidak tahu apa yang sudah dia lakukan padamu sampai kau jadi seperti ini.
Tapi aku yakin, dia bukanlah satu-satunya alasan kau harus bertahan. Diluar
sana, kau bisa dapatkan siluet-siluet perempuan lain kalau kau sembuh, bahkan
bukan hanya siluetnya, namun benar perempuannya. Kau hebat, kalau kau mau
melihat lebih jauh, kau pasti tahu kalau ada seseorang di luar sana yang
sebenarnya menunggu untuk dibalaskan perasaannya olehmu,”
Hening.
Tidak satupun dari kami berdua yang memutuskan untuk
berbicara. Setidaknya, aku memang tidak berani menambahkan apapun setelah
kalimat yang baru saja aku ucapkan. Kalimat apapun sepertinya tetap tidak akan
mengubah hal ini. Mengubah cara berpikirnya, mengubah perasaannya, mengubah
tatapannya padaku, atau bahkan mengubah ratusan tangan itu menjadi benar-benar
diam, bukan menunggu waktu untuk mengambil bagian demi bagian lagi. Aku tetap
menatapnya, dia juga tetap melakukan hal yang sama. Saling tatap seperti ini
membuatku menyadari banyak hal. Bola matanya berwarna coklat, bulu matanya
lentik, dan ya, itu tidak cukup lebar. Tidak hanya itu, disana aku melihat
sesuatu. Tatapan mata yang sejak tadi menurutku datar, rasanya tidak
benar-benar demikian. Ada sesuatu yang tertinggal disana. Bukan hanya siluet
perempuan itu namun juga perasaan terhadap perempuan itu sendiri. Entahlah, aku
tidak cukup yakin.
Beruntung hening panjang dan tatapan mata itu terhenti ketika
seseorang mengetuk pintu kemudian membukanya dan menyapa. Aku memang tidak
cukup suka keadaan diam, diam-diaman seolah tak saling kenal, diam-diaman seolah
mengusahakan semuanya tetap tak bersuara, bahkan detak diri sendiri. Suara
seseorang itu tak pernah asing di telingaku, aku langsung mengenalinya. Dan
tatapan kami berdua-antara aku dan laki-laki itu-terpisah kemudian sama-sama
ditujukan pada seseorang di ambang pintu.
“Halo. Maaf sudah mengganggu waktumu,” seseorang itu
mengatakannya pada laki-laki itu, “aku hanya merasa ini sudah cukup lama dan
ini sudah waktunya kau untuk pulang,” seseorang itu mengalihkan pandangannya
padaku.
Aku hanya tersenyum padanya. Mengalihkan kembali pandanganku
pada laki-laki di hadapanku.
“Aku harus pamit, kau harus baik-baik saja,” aku bergeser ke
samping-tempatku semula seperti ketika laki-laki itu menggeserku agar tak
menghalangi pandangannya pada siluet perempuan itu-lalu berbalik dan berjalan
ke arah pintu. Seseorang itu membukanya lebih lebar untukku. Aku dan seseorang
itu melangkah keluar. Tapi sebelum pintu benar-benar tertutup, aku mendengar
suara benda dibenturkan pada pintu. Terdengar keras, jelas. Entah karena aku
berada dibalik pintu itu atau hasil lemparan itu benar-benar bagus, entahlah.
Yang jelas tanpa berpikir panjang, aku meraih gagang pintu, yang masih dipegang
oleh seseorang itu, bertatap mata sebentar lalu aku mendorongnya kembali,
membukanya, dan seseorang itu, meskipun jelas terlihat enggan, mau tidak mau
mengikuti gerakanku.
Aku menemukan laki-laki itu masih disana, di depan meja
dimana seharusnya ada bingkai berisi foto siluet perempuan yang dia sukai
disana. Tapi meja itu kosong dan laki-laki itu duduk sambil memeluk kakinya
sendiri sambil terisak. Posisi yang menurutku-aku juga melakukannya ketika
menangis-bisa menenangkan perasaan entah bagaimana bisa, mungkin karena pelukan
dari diri sendiri atau entahlah, aku tidak bisa memastikan.
Satu-satunya yang mataku cari sekarang adalah bingkai itu.
Aku tidak butuh waktu lama untuk menemukannya karena ketika
aku melangkah ke arah laki-laki itu, hendak bertanya, aku menginjak sesuatu.
Ya, bingkai itu. Bingkai itu sepertinya yang dia lempar ke arah pintu yang
belum benar-benar tertutup. Aku merunduk, mengambil bingkai yang terbalik itu.
Membaliknya. Kacanya sudah pecah dan foto siluet perempuan itu sudah keluar
dari tempatnya yang seharusnya. Entah bagaimana bisa, sekarang dia tergolek di
lantai dalam keadaan terbalik juga.
Aku memungutnya. Menemukan tulisan di pojok kanan bawah. Sebuah
nama, dua angka, dan sebuah catatan. Terkejut. Aku membaliknya. Siluet
perempuan itu benar-benar terlihat nyata sekarang. Seseorang yang tadi
menurutiku untuk membuka pintunya kembali tiba-tiba mendekatiku, berhenti
sebentar-sepertinya dia membaca apa yang tengah kupegang-sejurus kemudian
menarik foto itu dari tanganku. Membuangnya kembali ke lantai.
“Ayo pergi,” seseorang itu mencengkeram tanganku lalu
menarikku keluar. Tatapan matanya terlihat bersungguh-sungguh dan seperti tak
bisa dibantah. Aku menurutinya.
Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi selain meninggalkan
laki-laki itu terduduk terisak disana. Seharusnya aku tidak seperti ini,
seharusnya aku menghampirinya barang sejenak. Mengatakan apapun yang sekiranya
bisa membuatnya baik-baik saja atau bahkan memberinya sebuah pelukan. Sekadar
meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja dan menangis itu tidak ada salahnya.
Tapi seseorang itu lebih dari kemampuanku untuk menolak. Seseorang itu menutup
pintu. Dan terus menarikku menjauh. Jauh sekali.
…
“Aku mengambil foto ini ketika dia tengah melihat ke atas
langit oranye sambil merentangkan tangannya dan membiarkan rambutnya
diterbangkan oleh angin sore. Bukankah ini siluet paling bagus? Tangannya
terlihat terentang. Rambutnya terlihat diterbangkan angin. Tidak seperti siluet
lain yang terlihat biasa tanpa pernah menunjukkan bahwa itu memang dirinya.
Tidak salah aku menyukai, siluetnya saja bisa membuat candu. Dia harus selalu baik-baik
saja, aku harap.”
Jorda. 24.
Azmi, Maret 2013
Azmi, Maret 2013
No comments:
Post a Comment