Tuesday, March 12, 2013

Siluet.

Aku tidak tahu sudah berapa banyak siluet dari perempuan itu yang dia minum hari ini. Tapi berapapun itu, aku yakin jumlahnya cukup banyak. Mungkin kalau ditakar, sudah setengah botol diminumnya. Dan semuanya, per sendoknya, per teguknya, bukanlah sesuatu yang pernah dia hitung. Dia satu dari banyak orang yang tidak mempermasalahkan jumlah. Dia satu dari banyak orang yang lebih memilih mengetahui ada atau tidaknya sesuatu, itu saja. Sama seperti ketika dia meminum siluet perempuan itu. Selama siluet itu masih ada, dia akan tetap mencoba.

Bagiku, siluet perempuan itu ibarat candu untuknya. Dia tahu siluet itu terlalu jauh tapi dia tetap tidak bisa menjauh. Bahkan untuk berhenti menggapai barang sejenak saja, dia butuh waktu berpikir berkali-kali. Dengan jawaban akhir yang bisa ditebak-tidak-untuk itu. Mungkin suatu hari nanti dia benar-benar butuh seorang terapis. Tapi bagiku, terapis dari negeri manapun, dari belahan bumi manapun, tidak akan pernah bisa membuat dia sadar dengan mudah. Dia sendiri sudah menghabiskan tahunan untuk menyukai siluet perempuan itu. Jadi kurasa, terapis manapun juga membutuhkan waktu tahunan untuk menyembuhkannya. Mungkin juga lebih baik kalau mereka mencari siluet dari perempuan lain, meskipun sebenarnya ini buruk karena terdengar memaksa. Tapi siapa tahu, dia bisa berpaling.


Hari ini aku menjenguknya. Lalu berdiri di depan siluet perempuan itu, menghalangi pandangannya. Pandangan harap agar dibalas, yang jika kau perhatikan baik-baik, ada ratusan tangan rakus disana. Mencoba menarik siluet perempuan itu, bagian demi bagian, kemudian cepat-cepat memasukkannya jauh ke dalam pandangan matanya. Menyimpannya seolah bagian-bagian itu bisa disusun seperti lego, berharap di dalam sana, siluet perempuan itu bisa terbentuk dengan jelas. Jadi ketika dia mendapati hari sudah malam dan saatnya untuk terlelap, dia masih bisa menikmati siluet perempuan itu dalam mimpinya.

Terhalanginya pandangan matanya membuatnya melirikku. Memandang wajahku tanpa ada perasaan tertarik sedikitpun dengan kehadiranku. Tapi ratusan tangan dalam matanya mendadak menarik diri mereka sendiri, menjatuhkan bagian-bagian dari siluet perempuan yang sedang mereka genggam ke tanah. Seperti ketakutan, mencoba mencari tempat bersembunyi dari sesuatu, tangan-tangan itu tak mencoba untuk keluar lagi. Tapi dia tetap tidak bergeming, tidak setakut ratusan tangan dalam matanya. Dengan tetap memandang ke arahku, tangan kanannya tergerak. Mencengkeram pergelangan tanganku lalu mencoba mendorong diriku ke samping. Cengkeraman yang kuat, bahkan terasa sakit. Membuatku menuruti perintah tangan kanannya yang seolah berkata bahwa aku menghalangi tuannya.

Aku tergeser tepat di samping siluet perempuan itu. Pandangan mata yang tertuju padaku, kembali lagi menatap siluet perempuan itu dalam-dalam. Ratusan tangan yang tadinya masuk bersembunyi, kembali keluar perlahan karena ragu-ragu dan takut. Sama seperti pandangan matanya, kembali terfokus pada siluet perempuan itu, mereka mengambil bagian-bagiannya lagi. Cepat-cepat, terburu waktu yang hampir malam. Sama terburunya seperti aku yang kembali menghalangi pandangannya, membuyarkan kegiatan ratusan tangan dalam matanya. Lagi, dia menatap tanpa arti, mencengkeram tanganku, menggeser ke samping, dan tak lama kemudian aku kembali menghalangi. Demikian terus hingga terjadi berulang kali. Hingga akhirnya dia mengalah dan berhenti. Tangan kanannya sudah lelah mencengkeram dan ratusan tangan dalam matanya sudah lelah tertakuti oleh apapun yang aku sendiri tidak tahu. Kini aku di depannya, menghalangi , dan dia masih tetap tidak melakukan apapun. Tapi pandangan matanya dibuang, tidak menatapku. Dia bergumam. Padaku.

“Kau berulang kali menghalangi pandanganku pada satu-satunya hal yang bisa membuatku bertahan. Tidakkah kau tahu bahwa hal itu lebih kepada obat dibandingkan dengan penyebab sakit ini sendiri? Sukarkah kau pergi dari sini dan membiarkanku menikmati apa yang sedang aku lakukan? Aku hampir saja selesai mengambil setiap bagiannya tapi kau menghalangi. Kau ingin tidurku tidak nyenyak?” katanya padaku, tegas. Tidak, aku yakin dia tidak marah.

“Berhentilah berbicara seolah dia memang benar satu-satunya hal yang bisa membuatmu bertahan,”

“Berhentilah berbicara seolah kau benar-benar mengertiku,” dia menatapku. Datar, tak seinci saja bibirnya tertarik membentuk senyum atau alisnya terangkat seolah dia tersinggung.

Aku terhenyak. Aku memang tidak mengertinya, lebih tepatnya tidak mengerti seperti apa rasanya menyayangi seseorang dengan benar namun tidak ada bagian dari diri seseorang itu yang bisa dimiliki selain siluetnya. Seperti dia. Sebenarnya siluet perempuan yang dimilikinya itu bukan benar-benar siluet, hanya sebuah foto bayangan seseorang yang tergambar jelas pada tanah sore hari dalam bingkai sederhana. Itu bukan satu-satunya foto siluet perempuan itu yang dia miliki, ada beberapa lagi dalam ruangannya. Foto-foto itu semuanya berada dalam bingkai sederhana. Namun, foto yang dia bawa kemari, siluet perempuan yang dari tadi dipandanginya, adalah yang paling dia sukai.

Dia bukan fotografer, dia hanya suka bermain dengan kameranya. Sekadar hobi. Dia bukan pendiam, namun terkadang segala sesuatu sulit dia ungkapkan apalagi soal perasaan. Tapi, soal foto itu, dia mengatakannya padaku, suatu hari, ketika kami berada dalam satu ruangan maya, bahasan tentang apa yang kira-kira bisa membuatmu tetap bertahan ketika kau jatuh dalam menyayangi seseorang. Dia bilang, siluet. Aku katakan kalau aku tidak mengerti maksudnya. Lalu dia bilang, yang dia maksud adalah ini, lalu dia mengirimkan sebuah foto. Foto itu, foto bayangan perempuan yang tergambar jelas pada tanah sore hari, yang dia bawa kemari. Dia bilang, hanya dengan melihat foto itu, dia seperti sedang melihat perempuan itu tersenyum seperti ketika dia benar-benar tersenyum padanya. Aku bertanya, mengapa dia tidak langsung mengambil foto ketika perempuan itu tersenyum saja, bukan siluetnya. Dia bilang, dia terlalu takut untuk itu. Dia bilang, siluet itu sudah cukup untuk dimiliki sebagai permulaan. Seperti keinginan manusia yang biasa bermula dari mimpi. Dan aku, aku yang tidak mengerti harus mengatakan apa lagi, menjawabnya dengan sebuah emoticon, emoticon tersenyum. Aku tidak ingin buang-buang waktu untuk bertanya atau mencari tahu siapa perempuan dibalik siluet itu karena aku rasa meskipun aku ingin tahu, aku tidak ada hak untuk mengetahuinya dan lagipula, kalau dia memang ingin mengatakannya, dia akan mengatakannya.

“Maaf,” aku menelan ludah, “aku hanya merasa tidak bisa membiarkanmu seperti ini terus-menerus. Aku tahu, aku mungkin memang bukan siapa-siapa untukmu, tapi siapapun yang melihatmu dalam kondisi seperti ini pasti berharap kau cepat sembuh, termasuk aku. Jangan menganggap ini sebagai bentuk mengasihani, memiliki posisi seperti dirimu memang sulit, tapi coba lihat, apa kau ingin terus seperti ini?”

Dia hanya diam, sambil tetap menatapku.

“Aku mungkin memang tidak tahu siapa pemilik siluet itu. Aku juga tidak tahu apa yang sudah dia lakukan padamu sampai kau jadi seperti ini. Tapi aku yakin, dia bukanlah satu-satunya alasan kau harus bertahan. Diluar sana, kau bisa dapatkan siluet-siluet perempuan lain kalau kau sembuh, bahkan bukan hanya siluetnya, namun benar perempuannya. Kau hebat, kalau kau mau melihat lebih jauh, kau pasti tahu kalau ada seseorang di luar sana yang sebenarnya menunggu untuk dibalaskan perasaannya olehmu,”

Hening.

Tidak satupun dari kami berdua yang memutuskan untuk berbicara. Setidaknya, aku memang tidak berani menambahkan apapun setelah kalimat yang baru saja aku ucapkan. Kalimat apapun sepertinya tetap tidak akan mengubah hal ini. Mengubah cara berpikirnya, mengubah perasaannya, mengubah tatapannya padaku, atau bahkan mengubah ratusan tangan itu menjadi benar-benar diam, bukan menunggu waktu untuk mengambil bagian demi bagian lagi. Aku tetap menatapnya, dia juga tetap melakukan hal yang sama. Saling tatap seperti ini membuatku menyadari banyak hal. Bola matanya berwarna coklat, bulu matanya lentik, dan ya, itu tidak cukup lebar. Tidak hanya itu, disana aku melihat sesuatu. Tatapan mata yang sejak tadi menurutku datar, rasanya tidak benar-benar demikian. Ada sesuatu yang tertinggal disana. Bukan hanya siluet perempuan itu namun juga perasaan terhadap perempuan itu sendiri. Entahlah, aku tidak cukup yakin.

Beruntung hening panjang dan tatapan mata itu terhenti ketika seseorang mengetuk pintu kemudian membukanya dan menyapa. Aku memang tidak cukup suka keadaan diam, diam-diaman seolah tak saling kenal, diam-diaman seolah mengusahakan semuanya tetap tak bersuara, bahkan detak diri sendiri. Suara seseorang itu tak pernah asing di telingaku, aku langsung mengenalinya. Dan tatapan kami berdua-antara aku dan laki-laki itu-terpisah kemudian sama-sama ditujukan pada seseorang di ambang pintu.

“Halo. Maaf sudah mengganggu waktumu,” seseorang itu mengatakannya pada laki-laki itu, “aku hanya merasa ini sudah cukup lama dan ini sudah waktunya kau untuk pulang,” seseorang itu mengalihkan pandangannya padaku.

Aku hanya tersenyum padanya. Mengalihkan kembali pandanganku pada laki-laki di hadapanku.

“Aku harus pamit, kau harus baik-baik saja,” aku bergeser ke samping-tempatku semula seperti ketika laki-laki itu menggeserku agar tak menghalangi pandangannya pada siluet perempuan itu-lalu berbalik dan berjalan ke arah pintu. Seseorang itu membukanya lebih lebar untukku. Aku dan seseorang itu melangkah keluar. Tapi sebelum pintu benar-benar tertutup, aku mendengar suara benda dibenturkan pada pintu. Terdengar keras, jelas. Entah karena aku berada dibalik pintu itu atau hasil lemparan itu benar-benar bagus, entahlah. Yang jelas tanpa berpikir panjang, aku meraih gagang pintu, yang masih dipegang oleh seseorang itu, bertatap mata sebentar lalu aku mendorongnya kembali, membukanya, dan seseorang itu, meskipun jelas terlihat enggan, mau tidak mau mengikuti gerakanku.

Aku menemukan laki-laki itu masih disana, di depan meja dimana seharusnya ada bingkai berisi foto siluet perempuan yang dia sukai disana. Tapi meja itu kosong dan laki-laki itu duduk sambil memeluk kakinya sendiri sambil terisak. Posisi yang menurutku-aku juga melakukannya ketika menangis-bisa menenangkan perasaan entah bagaimana bisa, mungkin karena pelukan dari diri sendiri atau entahlah, aku tidak bisa memastikan.

Satu-satunya yang mataku cari sekarang adalah bingkai itu.

Aku tidak butuh waktu lama untuk menemukannya karena ketika aku melangkah ke arah laki-laki itu, hendak bertanya, aku menginjak sesuatu. Ya, bingkai itu. Bingkai itu sepertinya yang dia lempar ke arah pintu yang belum benar-benar tertutup. Aku merunduk, mengambil bingkai yang terbalik itu. Membaliknya. Kacanya sudah pecah dan foto siluet perempuan itu sudah keluar dari tempatnya yang seharusnya. Entah bagaimana bisa, sekarang dia tergolek di lantai dalam keadaan terbalik juga.

Aku memungutnya. Menemukan tulisan di pojok kanan bawah. Sebuah nama, dua angka, dan sebuah catatan. Terkejut. Aku membaliknya. Siluet perempuan itu benar-benar terlihat nyata sekarang. Seseorang yang tadi menurutiku untuk membuka pintunya kembali tiba-tiba mendekatiku, berhenti sebentar-sepertinya dia membaca apa yang tengah kupegang-sejurus kemudian menarik foto itu dari tanganku. Membuangnya kembali ke lantai.

“Ayo pergi,” seseorang itu mencengkeram tanganku lalu menarikku keluar. Tatapan matanya terlihat bersungguh-sungguh dan seperti tak bisa dibantah. Aku menurutinya.

Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi selain meninggalkan laki-laki itu terduduk terisak disana. Seharusnya aku tidak seperti ini, seharusnya aku menghampirinya barang sejenak. Mengatakan apapun yang sekiranya bisa membuatnya baik-baik saja atau bahkan memberinya sebuah pelukan. Sekadar meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja dan menangis itu tidak ada salahnya. Tapi seseorang itu lebih dari kemampuanku untuk menolak. Seseorang itu menutup pintu. Dan terus menarikku menjauh. Jauh sekali.


“Aku mengambil foto ini ketika dia tengah melihat ke atas langit oranye sambil merentangkan tangannya dan membiarkan rambutnya diterbangkan oleh angin sore. Bukankah ini siluet paling bagus? Tangannya terlihat terentang. Rambutnya terlihat diterbangkan angin. Tidak seperti siluet lain yang terlihat biasa tanpa pernah menunjukkan bahwa itu memang dirinya. Tidak salah aku menyukai, siluetnya saja bisa membuat candu. Dia harus selalu baik-baik saja, aku harap.”

Jorda. 24.



Azmi, Maret 2013

No comments:

Post a Comment