Saat itu mata Kazuto bertemu dengan mata Keiko dari seberang ruangan. Keiko langsung menahan napas dan berharap debar jantungnya yang keras tidak terdengar oleh orang-orang yang berdiri didekatnya.
‘Dia tidak melakukan apa-apa,’ sahut Kazuto sambil tersenyum.
‘Tidak?’ tanya si wartawan tidak percaya.
‘Tidak,’ Kazuto menegaskan. ‘Dia juga tidak perlu melakukan apa-apa. Yang paling penting adalah kenyataan bahwa dia ada dan saya bisa melihatnya.’
‘Ya, Tuhan. Ini menegangkan sekali,’ bisik Haruka dengan nada mendesak sambil mencengkeram lengan Keiko. Itu bagus jugam karena Keiko merasa kakinya mulai goyah.
‘Maksud anda?’ tanya wartawan yang mulai bersemangat. Hubungan Pribadi memang selalu menarik untuk dikupas, apalagi hubungan pribadi orang terkenal.
‘Yang harus saya lakukan hanyalah melihatnya. Hanya melihatnya,’ sahut Kazuto dan kembali memandang ke arah Keiko, ‘dan saya akan merasa saya bisa menghadapi segalanya.’
Bernapaslah, pinta Keiko pada diri sendiri. Ia harus bernapas. Kalau tidak ia akan segera pingsan. Para wartawan berebut mengajukan pertanyaan, tetapi tidak ada yang terdengar jelas karena suara-suara saling tumpang-tindih.
‘Saya hanya berharap..’ Suara Kazuto membuat ruangan itu hening.
Semua perhatian terpusat kepada sosok Kazuto dan kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Mata Kazuto sendiri tetap terpaku pada Keiko.
‘Saya hanya berharap dia bisa melihat saya.’
Keiko masih tidak bisa mengalihkan matanya dari Kazuto. Ia tidak bisa mendengar apa-apa selain debar jantungnya sendiri. Tetapi mungkin suasana saat itu memang hening. Keiko tidak tahu dan tidak peduli. Ia merasa seolah-olah sedang melayang. Apakah ia sedang bermimpi?
‘Hanya itu yang bisa saya katakan.’ Kazuto memecah keheningan. ‘Terima kasih.’
Winter in Tokyo. Page 301
No comments:
Post a Comment