Friday, April 1, 2011

'Kenapa?'
'Karena aku merindukanmu,
'Karena aku membutuhkanmu,
'Karena kurasa kau sudah cukup lama berpikir dan sekarang saatnya kau kembali padaku. karena aku  ingin kau tahu bahwa perasaanku sekarang masih sama seperti dulu. dan karena aku ingin tahu apakah kau sudah percaya padaku, walaupun hanya sedikit,
'Aku ingin kau percaya padaku,
'Aku ingin kau percaya saat kukatakan bahwa aku tidak akan pernah menyakitimu. kalau perlu, aku bersedia menghabiskan sisa hidupku menebus apa yang dilakukannya padamu. asal kau tetap bersamaku. disisiku,
'Dan diatas segalanya,
'Aku ingin kau percaya padaku ketika kukatakan bahwa aku mencintaimu,
'Itu yang ingin kukatakan padamu saat terakhir kali kita bertemu,
'Itu yang ingin kukatakan padamu'


Spring in London, page 233
‘Apa yang sudah dilakukannya sampai bisa membuat anda terinspirasi?’
Saat itu mata Kazuto bertemu dengan mata Keiko dari seberang ruangan. Keiko langsung menahan napas dan berharap debar jantungnya yang keras tidak terdengar oleh orang-orang yang berdiri didekatnya.
‘Dia tidak melakukan apa-apa,’ sahut Kazuto sambil tersenyum.
‘Tidak?’ tanya si wartawan tidak percaya.
‘Tidak,’ Kazuto menegaskan. ‘Dia juga tidak perlu melakukan apa-apa. Yang paling penting adalah kenyataan bahwa dia ada dan saya bisa melihatnya.’
‘Ya, Tuhan. Ini menegangkan sekali,’ bisik Haruka dengan nada mendesak sambil mencengkeram lengan Keiko. Itu bagus jugam karena Keiko merasa kakinya mulai goyah.
‘Maksud anda?’ tanya wartawan yang mulai bersemangat. Hubungan Pribadi memang selalu menarik untuk dikupas, apalagi hubungan pribadi orang terkenal.
‘Yang harus saya lakukan hanyalah melihatnya. Hanya melihatnya,’ sahut Kazuto dan kembali memandang ke arah Keiko, ‘dan saya akan merasa saya bisa menghadapi segalanya.’
Bernapaslah, pinta Keiko pada diri sendiri. Ia harus bernapas. Kalau tidak ia akan segera pingsan. Para wartawan berebut mengajukan pertanyaan, tetapi tidak ada yang terdengar jelas karena suara-suara saling tumpang-tindih.
‘Saya hanya berharap..’ Suara Kazuto membuat ruangan itu hening.
Semua perhatian terpusat kepada sosok Kazuto dan kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Mata Kazuto sendiri tetap terpaku pada Keiko.
‘Saya hanya berharap dia bisa melihat saya.’
Keiko masih tidak bisa mengalihkan matanya dari Kazuto. Ia tidak bisa mendengar apa-apa selain debar jantungnya sendiri. Tetapi mungkin suasana saat itu memang hening. Keiko tidak tahu dan tidak peduli. Ia merasa seolah-olah sedang melayang. Apakah ia sedang bermimpi?
‘Hanya itu yang bisa saya katakan.’ Kazuto memecah keheningan. ‘Terima kasih.’

Winter in Tokyo. Page 301
'Hidup ini sungguh aneh, juga tidak adil. suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya hidup mengempaskanmu begitu keras ke bumi. ketika aku menyadari dialah satu-satunya yang paling kubutuhkan dalam hidup ini, kenyataan berteriak ditelingaku dia juga satu-satunya orang yang tidak boleh kudapatkan. kata-kataku mungkin terdengar tidak masuk akal, tetapi percayalah aku rela melepaskan apa saja, melakukan apa saja, asal bisa bersamanya. tetapi apakah manusia bisa mengubah kenyataan?,
'Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah keluar dari hidupnya. aku tidak akan melupakan dirinya, tetapi aku harus melupakan perasaan padanya walaupun itu berarti aku harus menghabiskan sisa hidupku mencoba melakukannya. pasti butuh waktu lama sebelum aku bisa menatapnya tanpa merasakan apa yang kurasakan setiap kali aku melihatnya. mungkin suatu hari nanti-aku tidak tahu kapan-rasa sakit ini akan hilang dan saat itu kami baru bertemu kembali,
'Sekarang, untuk saat ini saja, untuk beberapa detik saja, aku ingin bersikap egois. aku ingin melupakan semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar belakangku. tanpa beban, tuntutan, ataupun harapan, aku ingin mengaku,
'Aku mencintainya..


Autumn in Paris, page 234
'Sudah lama tidak mendengarmu main piano, mainkan satu lagu'
"aku akan main dengan satu syarat'
'Syarat apa?'
'Kalau suatu saat nanti kau rindu padaku, kau mau memberitahuku?'
'Syarat apa itu?'
'Setuju atau tidak?'
'Kenapa aku harus memberitahumu?'
'Supaya aku bisa langsung berlari menemuimu'
'Baiklah, aku akan memberitahumu kalau suatu saat nanti aku rindu padamu. tapi kau tidak perlu berlari menemuiku, nanti kau capek'
'Ah, satu hal lagi?'
'Apa lagi? kau sebenarnya mau main atau tidak?'
'Kalau suatu saat nanti aku rindu padamu, bolehkah kukatakan padamu?'
'Boleh, terserah kau saja'
'Ok, aku rindu padamu'


Summer in Seoul, page 219