Saturday, May 25, 2013

The Undesirable.

Semalam, ada yang menanyakan padaku mengapa aku menyukai kata itu.
Ketika dia mengatakan bahwa aku terlihat membenci diriku sendiri, aku membenarkannya.
Ketika dia mengatakan, aku akan membuang waktuku kalau terus melakukan hal itu, aku tidak tahu harus berbuat apa.
Sebenarnya aku tahu, aku salah. Aku hanya tidak cukup kuat untuk menolong diriku sendiri.
By the way, terimakasih, ya, kamu, sudah mengatakannya. I do appreciate your kindness.

Tuesday, May 7, 2013

Siluet.

Ketika mendengarnya masuk rumah sakit, rasanya aku ingin pingsan. Pasalnya, aku tidak habis pikir bagaimana dia bisa selalu membiarkan dirinya sendiri merasakan sakit hingga harus menginap di rumah sakit. Semua itu selalu saja karena hal yang sama, terlalu banyak pikiran, tidak nafsu makan, insomnia akut. Aku tahu dia pasti tahu kalau dia tidak sebaiknya melakukan hal-hal itu terus-menerus. Tapi hatinya? Hatinya seperti tidak peduli. Terlalu sibuk memperhatikan foto dalam bingkai tersebut. Foto yang sama. Selalu saja. Kalau aku tega untuk membuangnya, aku pasti sudah membuangnya sejak dulu. Atau bahkan melakukan yang lebih baik dari itu, mengganti foto di dalamnya. Dengan fotoku, mungkin. Siapa tahu dia mau. Sayangnya, aku bukan siapa-siapa untuk bisa melakukan hal itu.

Hari ini aku menjenguknya. Setelah menanyakan pada seorang suster dimana letak kamar tempat dia menginap, aku segera berterimakasih lalu berlalu. Tangan kananku membawa sekeranjang apel, hadiah mainstream untuk orang sakit dengan sisipan doa semoga cepat sembuh di tiap-tiapnya. Cukup banyak, tapi aku tidak takut apel-apel ini akan dibiarkannya begitu saja. Kenapa? Karena ini apel dan dia sangat menyukainya. Aku tahu benar itu. Berbeda dengan hadiah kecil lain yang aku bawakan untuknya, di dalam tasku. Aku takut hadiah itu tidak akan berarti apa-apa untuknya. Aku takut dia akan membiarkannya begitu saja tanpa minat. Lebih buruk lagi kalau dia malah mengepaknya ke dalam kardus lalu meletakkannya di dalam gudang.

Menepis semua pikiran buruk tentang hadiah yang hanya akan dibiarkannya, pikiranku berganti menjadi membuat sendiri percakapan yang kira-kira akan terjadi di dalam kamarnya nanti. Antara aku dengan dia, tentu saja. Sebenarnya kami tidak pernah bicara banyak. Dia diam. Tapi sama seperti biasanya, aku tidak peduli. Nanti, aku akan mengajaknya berbicara, meskipun aku tahu, kemungkinannya sedikit sekali untuk disahuti olehnya. Ya, aku hanya tidak akan membiarkan keadaan jadi semakin buruk dengan atmosfer serba diam. Tapi bagaimana caranya membuka percakapan pun, aku tidak tahu. Aku masih berpikir keras untuk itu.