Friday, June 22, 2012

It's still my favorite clothes.

Aku mendesah, mengusap permukaannya dengan saputangan perlahan. Jam tangan kecil ini permukaannya masih bening, angkanya masih jelas terlihat. Tidak, tentu tidak ada angka berderet yang membentuk lingkaran karena ini bukan jam analog. Aku tidak menyukai jam seperti itu. Entah karena aku malas membacanya atau karena ada hal lain. Hal lain. Jam ini mengingatkanku akan sesuatu.

Aku membenci waktu. Membencinya yang selalu berputar seakan tak ada habisnya. Lingkaran, bentuk yang paling banyak mendominasi jam, memang tak punya titik akhir. Seakan percaya kalau semua cerita dalam hidup tidak akan pernah terhenti oleh apapun. Padahal, coba lihat setiap kenyataan yang ada? Tidak ada hal yang seperti itu. Itu sebabnya mengapa harus ada lembaran baru. Biar aku perjelas. Dengar, aku hanya sedang membenci waktu. Membencinya yang selalu berputar namun berhenti berputar untukku. Tidak memberiku kesempatan memperbaiki apapun, bahkan untuk sekali saja.


“I must have been a fool
To love you so hard for so long
So much stronger than before
But so much harder to move on”

Lagu itu mengalun pelan dari laptopku. Aku sengaja memutarnya, menemaniku yang sedang sibuk melihat-lihat katalog online dari website sebuah butik langgananku. Aku sedang mencari sebuah gaun yang sederhana namun cantik dan cocok ku pakai untuk acara esok malam. Aku mendapat undangan pernikahan seorang teman, bukan hanya teman, namun juga klien dari jasa wedding organize yang aku punya. Sebenarnya aku bisa datang kesana tanpa undangan, aku harus memastikan semuanya berjalan baik-baik saja, bukan. Datang dengan setelan baju kerja seperti yang biasa aku kenakan, mengawasi semuanya dari belakang, tidak perlu ikut merayakan atau datang sebagai tamu undangan. Tapi kebanyakan dari mereka yang menggunakan jasaku, selalu mengundangku dengan resmi. Undangan 30cm x 15cm warna krem ini diantar seorang kurir seminggu yang lalu. Dua hari setelah aku membantu mereka menyiapkan segalanya. Dan sebagai salah satu tamu undangan, aku tidak mungkin datang dengan pakaian kerjaku. Aku harus menghargai kebaikan mereka.

Butik ini memang hanya menjual gaun. Dan entah kenapa, gaun yang dijual disini selalu terlihat cantik untukku, membuatku susah sekali memutuskan pilihan. Sebenarnya aku masih punya banyak gaun di lemari baju. Namun tidak ada satu dari mereka yang menarik perhatianku lagi. Tidak ada dari mereka yang ingin aku kenakan. Aku hanya ingin membeli yang baru. Mungkin juga bukan itu alasannya. Mungkin karena kali ini aku ingin datang dan tampil cantik. Siapa tahu aku akan diperhatikan, olehnya. Meskipun aku tahu itu tidak akan berarti apa-apa lagi. Aku sudah bilang dari awal, kan, aku sudah kehilangan kesempatan. Waktu berhenti berputar untukku.

Aku masih sibuk membuka halaman-halaman katalog online ini. Ada satu yang menarik perhatianku. Gaun panjang pas badan dengan satu lengan, sisi yang lain dibiarkan kosong membiarkan pundak terlihat. Dengan warna ungu dan hiasan payet yang berbaris dengan rapi mengelilingi pinggang. Di bagian belakang dekat bahu, terdapat sebuah simpul cantik. Aku menyukainya. Setelah melihat harganya dan detailnya dari gambar, aku memesannya. Aku menambahkan disana, aku akan melihatnya, juga mencobanya terlebih dahulu besok pagi sekitar jam 11am sebelum benar-benar membelinya. Aku sudah menemukan gaunku, entah kenapa tapi gaun itu terlihat sangat cantik, sangat familiar, aku sangat menyukainya. Aku memandangi gambarnya sekali lagi. Aku yakin, aku akan terlihat cantik dalam balutannya. Nah, sekarang waktunya untuk tidur. Aku melirik jam tangan yang sejak tadi belum juga kulepas, begitu juga baju kerjaku. Jam 11.43pm. Acara pernikahan besok pasti akan menyita waktuku lebih dari katalog tadi. Mungkin bukan hanya waktu, tapi juga perasaanku. Aku mematikan laptop, melepas jam tangan. Berjalan ke arah kamar mandi. Setelah ini aku harus cepat tidur. Aku butuh waktu untuk sendiri, untuk bernafas, untuk menikmati malam. Sebelum benar-benar tidak bisa esok malam.

“And now the bitter chill of the winter
Still blows through me like a plague
Only to wake up with an empty bed
On a perfect summer day”

Lagu itu mengalun perlahan. Sayup-sayup aku buka mataku dan menyadari hari sudah pagi. Aku baru ingat semalam aku tidur dengan ear-phone sengaja terpasang ditelingaku dan aku memang memutar lagu yang sama. Setengah sadar, aku mengubah posisi berbaringku jadi duduk. Melamun. Aku ingat dengan jelas ini hari apa. Ya, acara pesta pernikahan mereka, klienku. Menghadirinya, bukan sesuatu yang selama ini aku harapkan untuk aku lakukan. Bahkan menerima permintaannya untuk mengurus pesta pernikahannya pun, tidak pernah aku bayangkan. Aku sudah cukup lama tidak melihatnya, sudah cukup lama tidak mengingatnya. Oke, yang ini aku berbohong, sebenarnya aku tidak pernah dengan sengaja mengingatnya. Aku membiarkannya tetap ada disini, aku tahu mencoba melupakannya adalah hal yang sia-sia. Bukankah, semakin kita berusaha untuk melupakan seseorang, kita akan semakin mengingatnya? Dan disaat aku benar-benar terbiasa, waktu membuatnya terlihat kembali. Aku benar-benar membenci waktu.

Oke, Jo, waktunya survive. Aku bangun. Melepas ear-phone dan mengisi baterai ponsel. Aku berjalan ke arah dapur, membuat sarapan untuk diriku sendiri. Jam dinding, yang juga berjenis analog-yang aku mencarinya dengan susah payah karena jarang sekali dijual, menunjukkan angka 10am. Aku menghabiskan sekitar sembilan jam lebih untuk tidur jadi aku rasa, aku sudah siap untuk melewati malam nanti. Aku menyantap sarapanku tanpa selera. Aku heran, aku tidak menyangka semuanya akan berjalan seperti ini. Bernafaslah, Jo. Sarapanku sudah selesai. Sekarang waktunya mandi dan bersiap-siap ke butik.

.....
Pintu ruanganku diketuk. Aku menoleh, memalingkan wajahku dari kertas yang sudah hampir penuh dengan coretan nama seseorang, “Ya, masuk saja.”
“Permintaan baru, mbak,” karyawanku mengatakannya sesaat setelah membuka pintu. Semua karyawanku memang selalu memanggilku dengan sebutan “Mbak” karena aku sendiri yang memintanya. Lagipula, umurku belum jauh sekali diatas mereka sehingga mengharuskan untuk dipanggil “Ibu.”
“Kamu yang urus saja, bagaimana, Mel? Aku masih ingin sendirian,” ucapku menatapnya memelas.
“Maaf, mbak. Tapi saya sedang mengurus permintaan orang lain,” dia memperlihatkan wajah menyesal sambil merapatkan kedua telapak tangannya di depan wajahnya, meminta maaf.
“Oke, baiklah. Suruh mereka masuk,” aku menyerah.
“Tunggu sebentar, mbak,” Mela tersenyum. Sebelum dia sempat menutup pintu, aku memanggilnya.
“Mel, kamu mau pergi makan tidak?” kebetulan ini sudah hampir jam makan siang.
“Iya, mbak, sebentar lagi. Ada apa?”
“Kamu ke kedai kopi depan?”
“Iya, mbak. Mau dimana lagi, seberang, kan, dekat,”
“Kalau begitu aku titip café au lait seperti biasa, boleh?” aku memainkan mataku, menggodanya.
“Beres, mbak. Sekarang saja, ya, aku istirahatnya?” dia tertawa. Mencari-cari alasan. Aku tahu dia lapar.
“Dasar, tukang makan. Katanya mengurus orang lain. Oke, cepat ya,” aku balas tertawa.
“Sudah selesai, mbak,” dia tertawa lalu menutup pintu.

Aku merapikan meja kerjaku. Mengambil kertas yang penuh dengan coretan nama itu, membacanya sekali lagi. Ah, sudah berapa lama aku lari. Sudah berapa lama aku menyalahkan waktu yang berputar tanpa henti dan tidak memberiku satu kali kesempatan. Sudah berapa lama aku menjauh dari banyak sekali perasaan tulus yang menawarkan diri hanya karenanya. Dia tidak akan pernah tahu soal ini, dia tidak akan pernah tahu bagaimana aku berusaha untuk berhenti menyalahkan waktu. Saat itu, aku masih ingin mewujudkan keinginanku untuk membesarkan usaha milikku. Aku sudah terbiasa untuk ditemaninya hanya ketika ada waktu luang mengingat dia sama sibuknya denganku, aku juga sudah terbiasa untuk tidak terlalu mementingkan perasaan, me-nomor-satukan pekerjaanku…aku tahu ini salah, tapi itu sudah berlalu. Sejak waktuku banyak disita oleh pekerjaan, kami jarang bertemu dan dia tidak menyukainya. Semuanya berjalan begitu cepat hingga kami memutuskan untuk berpisah. Dan tidak lama kemudian aku baru menyadari sesuatu; aku membutuhkannya. Tapi karena aku bukan seseorang yang terlalu mementingkan perasaan, aku membiarkannya. Aku yakin aku bisa melalui beberapa hari ini tanpanya. Dan suatu hari, aku mengajaknya bertemu. Disana, Years, nama kedai kopi yang sama dengan yang berdiri di seberang tempat kerjaku. Nah, bagaimana aku bisa melupakan hari itu kalau Years saja ada disana. Singkatnya, setelah penjelasan panjang lebar dan pengakuan yang sangat berat; aku masih membutuhkannya, aku masih menyayanginya, dia menjawab, “Maaf, Jo, but I’ve found somebody else.”
Dan itu sudah cukup menghancurkanku.

.....
“Permisi,” seseorang mengetuk pintu ruanganku. Membuyarkan lamunan. Berdiri. Aku segera meremas kertas itu, menjatuhkannya ke dalam tempat sampah yang berada di bawah mejaku.
“Masuk saja,” jawabku, sekenanya.
“Selamat pagi, mbak,” seorang perempuan cantik dengan rambut bergelombang, masuk ruangan. Diikuti, seorang laki-laki yang aku kira adalah calon suaminya. Dan, oh, tidak, kenapa dia mirip sekali dengannya. Bernafaslah, Jo, kau harus bersikap sebaik apapun. Laki-laki itu benar-benar mirip dengan Nata. Wajahnya, matanya, senyumnya…Tuhan, dia menatapku.
“Maaf, mbak,” suara perempuan itu lagi. Dia menatapku, heran.
“Oh, ya, maafkan aku. Ada yang bisa aku bantu?” bersikaplah sewajarnya, Jo.
“Wedding organize mbak..untuk dua minggu lagi, bisa?”
“Dua minggu lagi ya..hm..silahkan duduk dulu, eh,” tawarku.
“Terimakasih,” laki-laki itu yang menjawabnya. Oh, Tuhan. Aku kembali duduk. Melihat kalender. Menghitung dua minggu dari hari ini. Oh, tidak, dia akan menikah.
“Tanggal berapa, ya? Sembilan, bulan depan?”
“Sebelas mbak, iya, bulan depan,” perempuan itu menatapku. Tersenyum.
“Oh, oke, sebelas. Ngomong-ngomong, selamat, ya,” jawabku begitu saja.
“Terimakasih banyak, Jo,” dia menjawabnya. Aku kaget, mengalihkan mataku dari kalender. Perempuan yang duduk disampingnya menatapnya heran, bagaimana dia bisa mengenalku, mengetahui namaku. Laki-laki itu tersenyum padanya, lalu berkata, “dia teman lamaku.”
“Oh, kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?” tanya perempuan itu tertawa. Wajahnya terlihat senang. Entahlah.
“Aku juga tidak mengira akan menemukannya disini, aku tidak ingat apa nama perusahaan yang dia kelola,” dia tertawa. Bawa aku pergi, Tuhan, bagaimana dia bisa mengatakan aku hanya teman lamanya, bagaimana dia bisa mengatakan melupakan nama perusahaan ini, nama yang sama seperti namaku, Casamanta.
“Bagaimana kalau kita membicarakan konsepnya mulai sekarang?” tanyaku. Mengalihkan perhatian mereka. Sebelum pembicaraan mereka meluas dan aku harus mengingat semuanya.

“My world just feels so cold
And you find yourself
Walking down the wrong side of the road”

Ponselku berdering. Aku melamun lagi ternyata. Dan aku melamunkannya, kenangan ketika aku bertemu dengannya lagi. Ya, ketika dia dan calon istrinya memintaku untuk menangani acara bahagia mereka. Aku melirik jam tangan sekali lagi, 10.55am. Dia menghabiskan waktuku untuk melamun sepanjang perjalanan. Pilihan yang tepat untuk pergi menggunakan taksi hari ini, jika melihat kondisiku yang seperti ini, banyak melamun, mungkin aku sudah mati di tengah jalan ketika berusaha mengendarai mobilku sendiri. Aku menjawab telepon, “ya, halo?”
“Jo dimana? Gaun yang kau pesan sudah siap,”
“Aku di depan toko. Membayar taksi,”
“Oh, baiklah,” dia terdengar merasa sedikit bersalah. Aku menutup telepon. Sekeluarnya aku dari taksi, aku sudah melihat pintu butik di hadapanku terbuka dengan seorang karyawan berdiri disana, tersenyum, “selamat datang, mbak.”
“Terimakasih,” ucapku melewatinya, membalas senyumnya.
“Jo, kau datang tepat waktu. Ini gaunmu, aku bahkan sudah menyiapkannya sejak tadi pagi dan kau bisa langsung memakainya,” Rena, teman lamaku, pemilik butik ini, menyambutku dengan senyum yang lebar sekali. Ia menyodorkan gaun yang sudah disiapkannya itu, wangi.
“Terimakasih banyak, aku jadi membelinya. Gaun buatanmu selalu cantik.”
“Terimakasih kembali. Ngomong-ngomong, siapa yang menikah? Kau membeli gaun ini pasti untuk menghadiri pesta pernikahan klienmu,kan,” tebaknya.
“Ya, klienku. Dan, kau tahu, dia…,” aku menatapnya.
“Nata, kan? Kau bersungguh-sungguh itu dia? Bagaimana perasaanmu?” dia memotong ucapanku. Bertanya memastikan aku baik-baik saja.
“Aku baik-baik saja, Ren,” bagaimana Rena bisa tahu bahkan sebelum aku memberitahunya. Mungkin dia mengundangnya juga. Tapi entahlah, aku tidak mau tahu. Semua ini sudah terasa cukup berat.
“Bagaimana kau bisa mengatakan kalau kau baik-baik saja sedangkan kau tidak terlihat seperti itu. Oh, ayolah, Jo, aku tahu kau masih sangat menyayanginya. Aku tahu kau terlu…ka,”
“Aku baik-baik saja,” aku tersenyum. Mengambil gaun itu dari tangannya, “aku coba dulu, ya.”

.....
“Jo, lihat aku,”
“Apa?” aku meliriknya sebentar. Kembali lagi pada cermin yang memperlihatkan diriku sendiri dalam balutan gaun.
“Kau pasti sakit,”
“Tidak usah sok tahu,”
“Tapi, kau, memang, ….”
“Ren, kubilang…”
“Bagaimana kau bisa bilang kau tidak sakit kalau gaun yang kau beli saja tidak berbeda dengan yang dia pilihkan untukmu, dulu. Aku sudah menebak kalau dia yang menikah sejak aku membaca pesananmu tadi pagi-pagi buta. Dan aku benar,”
“Maksudmu?”
“Ingat gaun itu, kan? Yang dia belikan untukmu, disini juga. Warnanya, modelnya…sama, coba kau perhatikan baik-baik. Ini memang gaun baru, tapi aku sengaja membuatnya sama dengan gaun yang itu, sama persis. Iseng, aku juga tidak tahu kenapa aku melakukannya. Eh, kau masih menyimpannya, kan? Aku yakin kau tidak akan memilih gaun ini jika bukan karena ada sesuatu yang aneh,”

Aku memperhatikan cermin. Memperhatikan pantulan diriku dengan baik. Ya, ternyata gaun ini memang sama persis dengan yang ia belikan dulu, sebagai hadiah ulang tahunku, yang berakhir menggantung di lemari baju tanpa pernah kukenakan lagi. Bagaimana aku bisa lupa. Sekarang, rasanya aku seperti melihat pantulan diriku setahun yang lalu, ketika aku tengah mencobanya juga. Mencoba gaun yang sama. Dengan dia, dia yang berada di belakangku. Melihatku mengenakan gaun ini, mengatakan aku cantik dalam balutannya. Dengan dia, dia yang berada di belakangku. Menyuruhku berbalik, menghadapnya, mengatakan aku cantik dalam balutannya sekali lagi. Dengan dia, dia yang menghampiriku. Memelukku, mengatakan kalau aku cantik dalam balutannya sekali lagi. Dengan dia, dia yang tetap memelukku, mengatakan kalau dia sangat menyayangiku. Dengan dia, dia yang masih tetap memelukku. Aku bisa merasakan detak jantungnya lagi. Aku bisa. Dalam pelukannya.

“I can't lie, you're on my mind
Stuck inside my head
I wanna feel your heart beat for me instead, yeah
I just die so much inside
Now that you're not there
I wanna feel your heartbeat like yesterday”

“Bagaimana, kau suka?” tanyanya, masih tetap memelukku.
“Ini, ini terlalu berlebihan. Ini, terimakasih banyak, Nata,” ucapku perlahan.
“Mungkin ungu memang bukan warna kesukaanmu, tapi, sama-sama. Aku senang kau menyukainya,” dia tersenyum. Senyum itu.
“Terimakasih banyak,” aku mengatakannya sekali lagi.
“Tidak perlu terlalu banyak berterimakasih. Kenakan saja gaun ini kalau suatu hari aku mengajakmu makan malam, aku akan sangat senang. Aku mencintaimu, Jo,” ucapnya. Jelas.
“Aku juga mencintaimu,” masih dalam pelukannya, aku memejamkan mataku.

.....
“Jo, kau baik-baik saja?”
“Oh, ya, aku baik-baik saja,” aku melamun lagi. Dan kali ini semuanya terlihat lebih jelas. Aku seperti merasakannya benar-benar ada disini, lagi.
“Hm, kalau begitu, bagaimana? Kau jadi membelinya?”
“Oh, ya, aku jadi. Memang kau mau mengambil kembali gaun yang sudah aku coba? Hm, aku bisa ambil gaun ini sekarang, kan?” tanyaku.
“Ya, aku akan membungkusnya untukmu. Kau tenang saja. Kau baik-baik saja,” Rena masih menatapku khawatir.
“Demi apapun, aku baik-baik saja, Rena,” aku tersenyum padanya.
“Boleh aku mengantarmu ke acara itu?” tawarnya, tanpa basa-basi.
“Kau…baiklah. Jemput aku tepat waktu, jam tujuh malam. Terimakasih banyak,”
“Hanya untuk memastikan kau baik-baik saja. Terimakasih kembali,” dia menepuk pundakku.

“I never did my best to
Express how I really felt
And now that I know exactly what I want
You found somebody else”

Aku memasuki ruangan pesta pernikahan klienku, maksudku, Nata, perlahan-lahan. Aku memperhatikan sekeliling, tidak ada yang memperhatikan kedatanganku. Lagipula siapa yang aku harapkan akan memperhatikannya. Aku sudah memastikan seperti apa penampilanku berulang kali sebelum berangkat. Entah kenapa, tapi aku ingin semuanya terlihat sempurna, tanpa cela. Gaunku, riasanku, dan semua benda-benda kecil yang aku kenakan untuk menghadiri acara ini; tas, sepatu, gelang, anting. Kata Rena, sebelum aku turun dari mobilnya, aku cantik. Sekarang aku mendesah ketika mengingat ucapannya. Secantik apapun, aku tetap tidak akan pernah terlihat cantik lagi untuknya, tidak akan. Meskipun aku sudah mengganti gaun yang aku beli tadi siang di butik Rena. Ya, aku menggantinya. Kini, aku mengenakan gaun yang pernah Nata berikan padaku. Meskipun gaun itu sama, tapi aku lebih nyaman memakai yang satu ini, pemberiannya. Aku juga terlihat lebih cantik dengan ini, menurutku sendiri. Bukan lagi menurut Nata. Dan aku menerimanya. Waktu sudah membuat semuanya berubah, dia menghentikan kesempatanku mendengar pujian itu lagi dari bibirnya. Bernafaslah, Jo, pengantinnya berdiri disana, tepat dihadapanmu. Acara ini berjalan sama seperti yang sudah aku atur. Tadi siang, aku meminta Mela untuk memastikan semua baik-baik saja, menggantikan posisiku untuk sementara karena aku harus menjadi tamu undangan. Dan dia melakukannya dengan baik.

“My world just feels so cold
And you find yourself
Walking on the wrong side of the road”

Aku mencari tempat duduk yang sepi dan aku menemukannya dengan cepat, barisan tempat duduk dekat pintu masuk ruangan ini, namun tepat di hadapan pengantin. Aku yang menyusun semua ini, aku tahu dimana letak tempat duduk dan dibagian mana orang jarang menempatinya. Aku datang sendirian, mungkin juga hanya sedikit yang aku kenal di ruangan ini. Jadi aku tidak perlu bergabung dengan yang lainnya. Aku hanya butuh sendirian, menikmati malam. Menyaksikannya dari jauh dengan perasaan yang entahlah, aku tidak tahu harus merasa bahagia atas pernikahannya atau merasa terluka karena yang berdiri disampingnya bukan aku.Aku bisa melihat mereka dengan lebih jelas dari sini. Mereka terlihat sedang asyik mengobrol, terlihat bahagia. Harus aku akui, mereka cocok. Dan perempuan itu tidak terlihat seperti seseorang yang me-nomor-satu-kan pekerjaan sepertiku. Tiba-tiba aku merasa kedinginan, aku butuh selimut, aku butuh kamarku, atau segelas café au lait. Dulu, ketika aku merasa tidak baik-baik saja, dia selalu mengajakku pergi ke Years ketika sore hari, menghabiskan waktu untuk berbagi perasaan, berbagi cerita dan minum itu. Oh, tidak, aku mengingatnya lagi. Mungkin seharusnya aku tidak datang, membiarkan diri sendiri terluka itu hal yang buruk, kan?

“I can't lie, you're on my mind
Stuck inside my head
I wanna feel your heart beat for me instead
I just die so much inside
Now that you're not there
I wanna feel your heart beat like yesterday”

Aku masih sibuk memperhatikan mereka. Sekarang mereka sedang tertawa, entah topik macam apa yang sedang mereka bicarakan, tapi sepertinya itu hal yang menarik. Mungkin mereka sedang merencakan kemana mereka akan pergi menghabiskan waktu atau dimana mereka akan tinggal atau berbagai cita-cita lain yang ingin diwujudkan sepasang pengantin baru. Aku mengalihkan pandanganku ke sekeliling. Tamu undangan terlihat asyik dengan dirinya sendiri-sendiri, menikmati makan malam yang aku sendiri yang memilihkan menunya. Ada yang sibuk berbincang-bincag dengan tamu undangan lain, mungkin membicarakan pengantin baru yang terlihat cocok itu. Atau mungkin membicarakan siapa wedding organizer yang merencakan pernikahan ini dengan baik. Tebakan satu itu cukup menghiburku. Aku mengembalikan pandanganku kepada mereka, Nata dan pasangannya, siapa namanya aku tidak ingat. Lagipula, aku memang tidak perlu mengingatnya. Apa itu? seorang tukang foto menghampiri mereka, sepertinya ingin mengambil foto mereka karena dia segera mundur beberapa langkah dari hadapan mereka. Dan mereka sekarang berdiri, membuat pose; bergandengan tangan, tersenyum. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan perempuan yang berdiri disamping Nata. Tukang foto mengatakan sesuatu dari kejauhan. Mereka tertawa, saling menatap lalu berpelukan. Oh, tidak, tukang foto sepertinya ingin mengambil foto ketika mereka berpelukan, bernafaslah, Jo. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku tidak ingin melihatnya. Aku sudah cukup terluka menghadiri acara ini.

“My world just feels so cold
And I find myself
Thinking about the things I could have done
And it warms my soul
When you let me know
I'm not the only one”

Aku baru saja mengambil segelas minuman dan kembali ke tempat dudukku. Aku masih memperhatikan mereka dari sini. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana mereka berpelukan beberapa menit yang lalu. Tiba-tiba seorang pembawa acara meminta perhatian para tamu. Oh, aku ingat urutan acaranya. Aku yang membuatnya, atas permintaan mereka berdua yang menginginkan ada hal yang berbeda dalam pesta pernikahan ini. Aku membuat acara lempar bunga seperti yang biasa dilakukan pada pesta pernikahan di daerah barat. Dan ini waktunya. Benar, kan, sekarang pembawa acara, yang juga salah satu anggota dari perusahaanku, mempersilahkan perempuan itu mengambil bunganya, berbalik ke belakang dan melemparnya. Bunga itu melayang tinggi, jauh sekali, tidak seperti yang aku perkirakan. Dan, oh, tidak. Bunga itu jatuh di lantai, tepat di hadapanku. Sekarang semua orang memperhatikanku, sesuatu yang aku kira tidak akan terjadi, maksudku, jadi pusat perhatian. Aku memperhatikan sekelilingku, beberapa dari tamu undangan terlihat seperti bertanya-tanya siapa aku. Rasanya, aku ingin sekali mengatakan, “Hai, namaku Jo, aku wedding organizer acara ini dan aku kira aku juga yang seharusnya berdiri disamping Nata.”

Pembawa acara menghampiriku, “sepertinya mbak yang sebentar lagi menikah,” ia tertawa. Aku ikut tertawa atas ucapannya, aku tahu itu tidak akan mungkin. Satu-satunya yang ingin aku nikahi sekarang bersama perempuan lain tepat dihadapanku.
Pembawa acara itu memberikan microphonenya yang lain padaku, setelah mempersilahkan salah satu dari pengantin mengatakan sesuatu. Aku sendiri yang membuat acara ini, pengantin akan mengatakan sesuatu pada si beruntung penerima bunga lemparan atau yang berada di dekatnya. Yang posisi tersebut sekarang adalah milikku. Kenapa harus aku. Microphone yang awalnya berada pada tangan pengantin perempuan sekarang berpindah ke tangan Nata, ia mengambilnya. Oh, apa yang akan dia katakan. Tanganku yang lain mencengkeram sisi gaunku erat-erat. Aku sepertinya akan pingsan. Aku benar-benar sudah cukup terluka. Nata membuka mulutnya, mulai mengatakan sesuatu.
“Perkenalkan, tamu undangan yang sudah bersedia menghadiri acara pesta pernikahanku malam ini, perempuan yang beruntung menerima bunga pernikahan kami adalah wedding organizer yang membantuku untuk acara ini, tanpanya mungkin semua tidak akan berjalan sebaik ini dan kalian tidak akan menikmati malam ini. Terimakasih banyak, Jo,” ia mengangguk padaku.
“Kebetulan perempuan ini, Jo, adalah teman lama yang kira-kira sudah setahun lamanya tidak aku ketahui bagaimana kabarnya. Kami cukup dekat, dia seorang pendengar yang baik. Namun, walau bagaimanapun dia sangat menyukai pekerjaannya. Terakhir kami bertemu, dia sedang dalam waktu memperbaiki, semakin memperbaiki, perusahaan yang ia kelola. Mungkin karena kesibukan itu kami jadi jarang sekali bertemu,” aku yakin dia sedang menatapku, dari jauh.
“Ternyata sekarang, setahun setelahnya, aku menemukan nama perusahaannya sudah sehebat ini. Kerja keras yang baik selalu menghasilkan sesuatu yang lebih dari perkiraan kukira. Selamat ya, Jo, kerja kerasmu sekarang berhasil. Aku yakin kau hidup lebih bahagia dari sebelumnya,” aku yakin dia sedang tersenyum.
“Aku menemukan nama perusahaanmu melalui internet. Beberapa komentar yang aku temukan di dunia maya juga mengatakan pekerjaanmu bagus. Aku kira nama perusahaanmu sudah berubah, jadi sebelumnya aku tidak mengira akan menemukanmu duduk disana ketika kami datang ke tempatmu,”
“Aku juga tidak mengira ternyata dirimulah yang menerima bunga itu. Maksudku, bunga itu akan jatuh di depanmu. Padahal, kau sendirilah yang mengatur acara ini,” ia tertawa.
“Seperti yang banyak orang katakan tentang bunga pernikahan yang dilempar, kau yang sebentar lagi akan menikah. Menyusulku. Selamat, aku harap kau mendapatkan seseorang yang sangat mengertimu,” dia tersenyum. Menurunkan microphonenya. Sepertinya ia sudah selesai mengatakan sesuatu. Cukup panjang dan aku masih mengingat seluruhnya. Kata-katanya seperti sedang mengenang sesuatu. Para tamu undangan bertepuk tangan, menatap Nata lalu aku, tersenyum. Oke, aku jadi pusat perhatian malam ini, meski sebentar. Pembawa acara yang dari tadi berdiri disampingku, mempersilahkan aku untuk mengatakan sesuatu untuk membalas ucapan panjang lebar dari Nata. Aku mengangguk. Mengarahkan microphone pada bibirku.
“Terimakasih juga telah mengundangku ke acara bahagia ini. Seharusnya aku berdiri di belakang sana, memastikan semua baik-baik saja. Bukan sebagai tamu undangan,” aku memaksakan untuk tertawa.
“Terimakasih juga untuk doanya, aku harap aku akan mendapatkan seseorang yang bisa mengertiku dan menyusulmu, menjadi pengantin,” aku kembali tertawa. Meskipun sebenarnya aku sangat ingin menangis ketika mengatakannya.
“Ngomong-ngomong, ingatanmu bagus, aku yakin kau tidak akan pernah melupakan teman lamamu ini. Tentang bagaimana sibuknya aku sehingga kita jarang bertemu di waktu lalu sepertinya bukan hal yang menyenangkan untuk dibahas. Sekarang kau menemukan aku lagi dan kalau kau butuh pendengar yang baik, kau bisa menghubungiku. Aku tetap akan ada untukmu. Bukankah sebagai teman, tidak boleh saling melupakan? Tapi kukira kau tidak butuh itu, lagipula, sekarang kau punya pendamping hidup yang baik dan lebih dari sekedar teman, yang sekarang berdiri disampingmu. Selamat untuk pernikahan kalian, semoga kalian bahagia,” mereka saling menatap dan tersenyum ketika aku mengatakan ini. Aku melihatnya dengan jelas. Ini menyakitkan.
“Oh, ya, aku tetap dengan nama yang dulu, Casamanta. Kalau-kalau ada dari tamu undangan yang hadir disini membutuhkan, kalian bisa langsung menelepon tempatku bekerja dan aku akan membantu kalian. Tidak apa-apa, kan, aku berpromosi disini?” aku tertawa. Mereka dan tamu undangan juga tertawa. Mungkin tidak menyadari sesuatu dari ucapanku tadi. Ucapan yang sebenarnya adalah isi hati yang paling dalam. Paling jujur tapi juga paling menyakitkan.

“I can't lie, you're on my mind
Stuck inside my head
I wanna feel your heart beat for me instead, yeah”

Aku sudah cukup terluka membantu acara pernikahanmu. Aku sudah berpura-pura sebaik mungkin agar tidak terlihat seperti ada yang salah. Aku juga tidak ingin perempuan itu tahu tentang masa lalu itu, masa lalu kita. Yang sejujurnya, bukan hanya sekadar teman lama. Aku juga berusaha untuk tidak menangis ketika menginjakkan kakiku untuk pertama kali ke ruangan ini. Aku juga berusaha untuk tetap bersikap biasa saja, ketika mendengarmu mengatakan hal-hal semacam itu tadi. Aku juga berusaha membuat suaraku terdengar baik meskipun sebenarnya aku bergetar. Kalau boleh pergi, aku akan segera pergi setelah mengatakan apapun yang aku katakan tadi. Tiba-tiba, Nata mengangkat lagi microphonenya. Aku tidak bisa menebak apa yang akan dia katakan. Kurang menyakitkankah ucapan tadi?
“Ngomong-ngomong, Joy Casamanta, untuk sekian lama aku tidak melihatmu, sekarang kau terlihat lebih dewasa. Kau juga terlihat cantik dalam balutan gaun ungu itu. Mungkin ini pertanyaan konyol, tapi, boleh aku tahu mengapa kau mengenakan gaun satu itu? Apakah gaun itu berarti untukmu?” dia menatap perempuan itu, sambil tertawa. Perempuan itu meraih microphone dan mengiyakan apa kata Nata, aku cantik. Kemudian mereka berdua tersenyum. Padaku. Aku tidak menyangka dia akan menanyakan hal satu itu. Aku tidak menyangka dia akan mengatakan kalau aku cantik. Aku mencoba menenangkan diri dan mencoba menjawabnya.
“Ini…ini gaun lama. Dan ini masih jadi salah satu kesukaanku meskipun aku sudah lama tidak memakainya. Ini pemberian dari seseorang yang sampai sekarang masih sangat aku cintai. Namun sayang sekali, dia sudah pergi dan itu semua salahku, aku yakin kau tahu siapa dirinya. Hm, aku tidak tahu dia masih menyisakan sedikit tempat untukku dihatinya atau tidak, tapi kalau memang iya, aku yakin dia juga akan menanyakan hal yang sama sepertimu,” aku bergetar, aku benar-benar tidak bisa menguasai diriku lagi. Aku mengatakan sesuatu yang lebih dari perkiraanku. Aku bisa lihat dari sini dia terlihat aneh, seperti kebingungan harus menjawab apa, tapi dia bisa mengendalikan dirinya dengan baik. Tidak ada yang menyadari apa yang sebenarnya sedang kami bicarakan. Semua tamu bertepuk tangan, menatapku. Ada yang tersenyum. Seorang ibu yang aku tidak tahu siapa, yang berdiri tak jauh dariku, mendekatiku, menepuk pundakku seolah mencoba menguatkanku, seperti yang Rena lakukan waktu itu. Hal yang sama dengan apa yang biasa kau lakukan dulu padaku.

“I just die so much inside
Now that you're not there
I wanna feel your heart beat like yesterday”

Ponselku berbunyi, suaranya menyusup diantara suara tepukan tangan. Aku menyerahkan microphone kembali kepada si pembawa acara. Ia menerimanya. Aku mengambil tas tanganku, membukanya, menemukan ponselku berkedip-kedip, tetap berbunyi. Aku mengambilnya, memberi isyarat pada pembawa acara, juga Nata, yang masih berdiri disana tanpa menjawab perkataanku. Pembawa acara mengangguk, mengatakan acara lempar bunga yang berujung menjadi jumpa teman lama antara klien dan wedding organizer sudah selesai. Ia melanjutkan acara selanjutnya. Meninggalkanku yang berdiri, menjawab telepon. Tamu undangan juga berhenti memperhatikanku, kembali sibuk dengan dirinya masih-masing.
“Bagaimana? Kau sudah selesai? Aku menunggumu diluar,” suara diseberang, Rena.
“Sudah. Aku ingin pulang. Aku akan segera keluar,” aku mengambil tas tanganku. Dengan ponsel tetap menempel di telinga, aku berjalan keluar ruangan. Aku sudah selesai, Nata. Aku sudah mengatakan apa yang seharusnya aku katakan meskipun sudah terlambat. Waktu memang tidak pernah berpihak padaku. Aku sudah cukup terluka, aku butuh bernafas sekarang. Satu yang masih jadi pertanyaanku, mengapa dia menanyakan tentang gaun ini. Apakah perkiraanku benar? Dia menanyakannya karena dia masih menyisakan tempat untukku. Ah , sudahlah. Bukankah tidak ada yang lebih buruk dari saling mencintai namun berusaha untuk memendamnya dalam-dalam dan tidak saling memiliki? Ku harap dia bahagia. Tidak perlu khawatir, aku sudah terbiasa untuk seperti ini dan aku bahagia. Bahagia bisa melihatnya setelah sekian lama tidak bertemu. Bernafaslah, Jo.

Azmi, Juni 2012.
PS: Terimakasih untuk satu lagu dari Maroon 5 yang membuatku bisa membuat ini. Dan oh, ya, Cece, apa ini sesuai dengan keinginanmu? :D

5 comments:

  1. you're still my favorite writer<3

    ReplyDelete
  2. you're my favorite reader <3 thank you so much!

    ReplyDelete
  3. Mik, +100 buat ini..bagus sekali! :D jadiin novel boleh dong, aku jadi pembeli pertama deh hahaha

    ReplyDelete
  4. ini requestnya cece? buuuuuaguuuuus miiiiiik:D

    ReplyDelete
  5. Ndak kok, pasti masih ada kurangnya:3 Tapi terimakasih banyak Meidy, Tria! Terimakasih juga sudah mau baca!:D

    ReplyDelete