Aku mendesah, mengusap permukaannya dengan saputangan perlahan.
Jam tangan kecil ini permukaannya masih bening, angkanya masih jelas terlihat.
Tidak, tentu tidak ada angka berderet yang membentuk lingkaran karena ini bukan
jam analog. Aku tidak menyukai jam seperti itu. Entah karena aku malas
membacanya atau karena ada hal lain. Hal lain. Jam ini mengingatkanku akan
sesuatu.
Aku
membenci waktu. Membencinya yang selalu berputar seakan tak ada habisnya.
Lingkaran, bentuk yang paling banyak mendominasi jam, memang tak punya titik
akhir. Seakan percaya kalau semua cerita dalam hidup tidak akan pernah terhenti
oleh apapun. Padahal, coba lihat setiap kenyataan yang ada? Tidak ada hal yang
seperti itu. Itu sebabnya mengapa harus ada lembaran baru. Biar aku perjelas. Dengar,
aku hanya sedang membenci waktu. Membencinya yang selalu berputar namun
berhenti berputar untukku. Tidak memberiku kesempatan memperbaiki apapun,
bahkan untuk sekali saja.
“I must have
been a fool
To love you
so hard for so long
So much
stronger than before
But so much
harder to move on”
Lagu itu
mengalun pelan dari laptopku. Aku sengaja memutarnya, menemaniku yang sedang
sibuk melihat-lihat katalog online dari website sebuah butik langgananku. Aku
sedang mencari sebuah gaun yang sederhana namun cantik dan cocok ku pakai untuk
acara esok malam. Aku mendapat undangan pernikahan seorang teman, bukan hanya
teman, namun juga klien dari jasa wedding organize yang aku punya. Sebenarnya
aku bisa datang kesana tanpa undangan, aku harus memastikan semuanya berjalan
baik-baik saja, bukan. Datang dengan setelan baju kerja seperti yang biasa aku
kenakan, mengawasi semuanya dari belakang, tidak perlu ikut merayakan atau
datang sebagai tamu undangan. Tapi kebanyakan dari mereka yang menggunakan
jasaku, selalu mengundangku dengan resmi. Undangan 30cm x 15cm warna krem ini
diantar seorang kurir seminggu yang lalu. Dua hari setelah aku membantu mereka
menyiapkan segalanya. Dan sebagai salah satu tamu undangan, aku tidak mungkin
datang dengan pakaian kerjaku. Aku harus menghargai kebaikan mereka.
Butik ini
memang hanya menjual gaun. Dan entah kenapa, gaun yang dijual disini selalu
terlihat cantik untukku, membuatku susah sekali memutuskan pilihan. Sebenarnya
aku masih punya banyak gaun di lemari baju. Namun tidak ada satu dari mereka
yang menarik perhatianku lagi. Tidak ada dari mereka yang ingin aku kenakan.
Aku hanya ingin membeli yang baru. Mungkin juga bukan itu alasannya. Mungkin
karena kali ini aku ingin datang dan tampil cantik. Siapa tahu aku akan diperhatikan,
olehnya. Meskipun aku tahu itu tidak akan berarti apa-apa lagi. Aku sudah
bilang dari awal, kan, aku sudah kehilangan kesempatan. Waktu berhenti berputar
untukku.
Aku masih
sibuk membuka halaman-halaman katalog online ini. Ada satu yang menarik
perhatianku. Gaun panjang pas badan dengan satu lengan, sisi yang lain
dibiarkan kosong membiarkan pundak terlihat. Dengan warna ungu dan hiasan payet
yang berbaris dengan rapi mengelilingi pinggang. Di bagian belakang dekat bahu,
terdapat sebuah simpul cantik. Aku menyukainya. Setelah melihat harganya dan
detailnya dari gambar, aku memesannya. Aku menambahkan disana, aku akan melihatnya,
juga mencobanya terlebih dahulu besok pagi sekitar jam 11am sebelum benar-benar
membelinya. Aku sudah menemukan gaunku, entah kenapa tapi gaun itu terlihat
sangat cantik, sangat familiar, aku sangat menyukainya. Aku memandangi
gambarnya sekali lagi. Aku yakin, aku akan terlihat cantik dalam balutannya. Nah,
sekarang waktunya untuk tidur. Aku melirik jam tangan yang sejak tadi belum
juga kulepas, begitu juga baju kerjaku. Jam 11.43pm. Acara pernikahan besok
pasti akan menyita waktuku lebih dari katalog tadi. Mungkin bukan hanya waktu,
tapi juga perasaanku. Aku mematikan laptop, melepas jam tangan. Berjalan ke
arah kamar mandi. Setelah ini aku harus cepat tidur. Aku butuh waktu untuk sendiri,
untuk bernafas, untuk menikmati malam. Sebelum benar-benar tidak bisa esok
malam.
“And now the
bitter chill of the winter
Still blows
through me like a plague
Only to wake
up with an empty bed
On a perfect
summer day”
Lagu itu
mengalun perlahan. Sayup-sayup aku buka mataku dan menyadari hari sudah pagi.
Aku baru ingat semalam aku tidur dengan ear-phone sengaja terpasang ditelingaku
dan aku memang memutar lagu yang sama. Setengah sadar, aku mengubah posisi
berbaringku jadi duduk. Melamun. Aku ingat dengan jelas ini hari apa. Ya, acara
pesta pernikahan mereka, klienku. Menghadirinya, bukan sesuatu yang selama ini
aku harapkan untuk aku lakukan. Bahkan menerima permintaannya untuk mengurus
pesta pernikahannya pun, tidak pernah aku bayangkan. Aku sudah cukup lama tidak
melihatnya, sudah cukup lama tidak mengingatnya. Oke, yang ini aku berbohong, sebenarnya
aku tidak pernah dengan sengaja mengingatnya. Aku membiarkannya tetap ada
disini, aku tahu mencoba melupakannya adalah hal yang sia-sia. Bukankah,
semakin kita berusaha untuk melupakan seseorang, kita akan semakin
mengingatnya? Dan disaat aku benar-benar terbiasa, waktu membuatnya terlihat
kembali. Aku benar-benar membenci waktu.
Oke, Jo, waktunya
survive. Aku bangun. Melepas ear-phone dan mengisi baterai ponsel. Aku
berjalan ke arah dapur, membuat sarapan untuk diriku sendiri. Jam dinding, yang
juga berjenis analog-yang aku mencarinya dengan susah payah karena jarang
sekali dijual, menunjukkan angka 10am. Aku menghabiskan sekitar sembilan jam
lebih untuk tidur jadi aku rasa, aku sudah siap untuk melewati malam nanti. Aku
menyantap sarapanku tanpa selera. Aku heran, aku tidak menyangka semuanya akan
berjalan seperti ini. Bernafaslah, Jo. Sarapanku sudah selesai. Sekarang
waktunya mandi dan bersiap-siap ke butik.
.....
Pintu
ruanganku diketuk. Aku menoleh, memalingkan wajahku dari kertas yang sudah
hampir penuh dengan coretan nama seseorang, “Ya, masuk saja.”
“Permintaan
baru, mbak,” karyawanku mengatakannya sesaat setelah membuka pintu. Semua
karyawanku memang selalu memanggilku dengan sebutan “Mbak” karena aku sendiri
yang memintanya. Lagipula, umurku belum jauh sekali diatas mereka sehingga
mengharuskan untuk dipanggil “Ibu.”
“Kamu yang
urus saja, bagaimana, Mel? Aku masih ingin sendirian,” ucapku menatapnya
memelas.
“Maaf, mbak.
Tapi saya sedang mengurus permintaan orang lain,” dia memperlihatkan wajah
menyesal sambil merapatkan kedua telapak tangannya di depan wajahnya, meminta maaf.
“Oke,
baiklah. Suruh mereka masuk,” aku menyerah.
“Tunggu
sebentar, mbak,” Mela tersenyum. Sebelum dia sempat menutup pintu, aku
memanggilnya.
“Mel, kamu
mau pergi makan tidak?” kebetulan ini sudah hampir jam makan siang.
“Iya, mbak,
sebentar lagi. Ada apa?”
“Kamu ke kedai
kopi depan?”
“Iya, mbak.
Mau dimana lagi, seberang, kan, dekat,”
“Kalau
begitu aku titip café au lait seperti biasa, boleh?” aku memainkan mataku, menggodanya.
“Beres,
mbak. Sekarang saja, ya, aku istirahatnya?” dia tertawa. Mencari-cari alasan.
Aku tahu dia lapar.
“Dasar,
tukang makan. Katanya mengurus orang lain. Oke, cepat ya,” aku balas tertawa.
“Sudah
selesai, mbak,” dia tertawa lalu menutup pintu.
Aku
merapikan meja kerjaku. Mengambil kertas yang penuh dengan coretan nama itu,
membacanya sekali lagi. Ah, sudah berapa lama aku lari. Sudah berapa lama aku
menyalahkan waktu yang berputar tanpa henti dan tidak memberiku satu kali
kesempatan. Sudah berapa lama aku menjauh dari banyak sekali perasaan tulus
yang menawarkan diri hanya karenanya. Dia tidak akan pernah tahu soal ini, dia
tidak akan pernah tahu bagaimana aku berusaha untuk berhenti menyalahkan waktu.
Saat itu, aku masih ingin mewujudkan keinginanku untuk membesarkan usaha milikku.
Aku sudah terbiasa untuk ditemaninya hanya ketika ada waktu luang mengingat dia
sama sibuknya denganku, aku juga sudah terbiasa untuk tidak terlalu
mementingkan perasaan, me-nomor-satukan pekerjaanku…aku tahu ini salah, tapi
itu sudah berlalu. Sejak waktuku banyak disita oleh pekerjaan, kami jarang
bertemu dan dia tidak menyukainya. Semuanya berjalan begitu cepat hingga kami
memutuskan untuk berpisah. Dan tidak lama kemudian aku baru menyadari sesuatu;
aku membutuhkannya. Tapi karena aku bukan seseorang yang terlalu mementingkan
perasaan, aku membiarkannya. Aku yakin aku bisa melalui beberapa hari ini
tanpanya. Dan suatu hari, aku mengajaknya bertemu. Disana, Years, nama kedai
kopi yang sama dengan yang berdiri di seberang tempat kerjaku. Nah, bagaimana
aku bisa melupakan hari itu kalau Years saja ada disana. Singkatnya, setelah
penjelasan panjang lebar dan pengakuan yang sangat berat; aku masih
membutuhkannya, aku masih menyayanginya, dia menjawab, “Maaf, Jo, but I’ve
found somebody else.”
Dan itu
sudah cukup menghancurkanku.
.....
“Permisi,”
seseorang mengetuk pintu ruanganku. Membuyarkan lamunan. Berdiri. Aku segera
meremas kertas itu, menjatuhkannya ke dalam tempat sampah yang berada di bawah
mejaku.
“Masuk
saja,” jawabku, sekenanya.
“Selamat
pagi, mbak,” seorang perempuan cantik dengan rambut bergelombang, masuk
ruangan. Diikuti, seorang laki-laki yang aku kira adalah calon suaminya. Dan,
oh, tidak, kenapa dia mirip sekali dengannya. Bernafaslah, Jo, kau harus
bersikap sebaik apapun. Laki-laki itu benar-benar mirip dengan Nata.
Wajahnya, matanya, senyumnya…Tuhan, dia menatapku.
“Maaf,
mbak,” suara perempuan itu lagi. Dia menatapku, heran.
“Oh, ya,
maafkan aku. Ada yang bisa aku bantu?” bersikaplah sewajarnya, Jo.
“Wedding organize
mbak..untuk dua minggu lagi, bisa?”
“Dua minggu
lagi ya..hm..silahkan duduk dulu, eh,” tawarku.
“Terimakasih,”
laki-laki itu yang menjawabnya. Oh, Tuhan. Aku kembali duduk. Melihat
kalender. Menghitung dua minggu dari hari ini. Oh, tidak, dia akan menikah.
“Tanggal
berapa, ya? Sembilan, bulan depan?”
“Sebelas
mbak, iya, bulan depan,” perempuan itu menatapku. Tersenyum.
“Oh, oke,
sebelas. Ngomong-ngomong, selamat, ya,” jawabku begitu saja.
“Terimakasih
banyak, Jo,” dia menjawabnya. Aku kaget, mengalihkan mataku dari kalender.
Perempuan yang duduk disampingnya menatapnya heran, bagaimana dia bisa
mengenalku, mengetahui namaku. Laki-laki itu tersenyum padanya, lalu berkata, “dia
teman lamaku.”
“Oh, kenapa
kau tidak memberitahuku sebelumnya?” tanya perempuan itu tertawa. Wajahnya
terlihat senang. Entahlah.
“Aku juga
tidak mengira akan menemukannya disini, aku tidak ingat apa nama perusahaan yang
dia kelola,” dia tertawa. Bawa aku pergi, Tuhan, bagaimana dia bisa mengatakan
aku hanya teman lamanya, bagaimana dia bisa mengatakan melupakan nama
perusahaan ini, nama yang sama seperti namaku, Casamanta.
“Bagaimana
kalau kita membicarakan konsepnya mulai sekarang?” tanyaku. Mengalihkan
perhatian mereka. Sebelum pembicaraan mereka meluas dan aku harus mengingat
semuanya.
“My world
just feels so cold
And you find
yourself
Walking down
the wrong side of the road”
Ponselku berdering.
Aku melamun lagi ternyata. Dan aku melamunkannya, kenangan ketika aku bertemu
dengannya lagi. Ya, ketika dia dan calon istrinya memintaku untuk menangani
acara bahagia mereka. Aku melirik jam tangan sekali lagi, 10.55am. Dia
menghabiskan waktuku untuk melamun sepanjang perjalanan. Pilihan yang tepat
untuk pergi menggunakan taksi hari ini, jika melihat kondisiku yang seperti
ini, banyak melamun, mungkin aku sudah mati di tengah jalan ketika berusaha
mengendarai mobilku sendiri. Aku menjawab telepon, “ya, halo?”
“Jo dimana?
Gaun yang kau pesan sudah siap,”
“Aku di
depan toko. Membayar taksi,”
“Oh,
baiklah,” dia terdengar merasa sedikit bersalah. Aku menutup telepon.
Sekeluarnya aku dari taksi, aku sudah melihat pintu butik di hadapanku terbuka
dengan seorang karyawan berdiri disana, tersenyum, “selamat datang, mbak.”
“Terimakasih,”
ucapku melewatinya, membalas senyumnya.
“Jo, kau
datang tepat waktu. Ini gaunmu, aku bahkan sudah menyiapkannya sejak tadi pagi
dan kau bisa langsung memakainya,” Rena, teman lamaku, pemilik butik ini, menyambutku
dengan senyum yang lebar sekali. Ia menyodorkan gaun yang sudah disiapkannya
itu, wangi.
“Terimakasih
banyak, aku jadi membelinya. Gaun buatanmu selalu cantik.”
“Terimakasih
kembali. Ngomong-ngomong, siapa yang menikah? Kau membeli gaun ini pasti untuk
menghadiri pesta pernikahan klienmu,kan,” tebaknya.
“Ya, klienku.
Dan, kau tahu, dia…,” aku menatapnya.
“Nata, kan?
Kau bersungguh-sungguh itu dia? Bagaimana perasaanmu?” dia memotong ucapanku.
Bertanya memastikan aku baik-baik saja.
“Aku
baik-baik saja, Ren,” bagaimana Rena bisa tahu bahkan sebelum aku
memberitahunya. Mungkin dia mengundangnya juga. Tapi entahlah, aku tidak mau
tahu. Semua ini sudah terasa cukup berat.
“Bagaimana
kau bisa mengatakan kalau kau baik-baik saja sedangkan kau tidak terlihat
seperti itu. Oh, ayolah, Jo, aku tahu kau masih sangat menyayanginya. Aku tahu
kau terlu…ka,”
“Aku
baik-baik saja,” aku tersenyum. Mengambil gaun itu dari tangannya, “aku coba
dulu, ya.”
.....
“Jo, lihat
aku,”
“Apa?” aku
meliriknya sebentar. Kembali lagi pada cermin yang memperlihatkan diriku sendiri
dalam balutan gaun.
“Kau pasti
sakit,”
“Tidak usah
sok tahu,”
“Tapi, kau,
memang, ….”
“Ren,
kubilang…”
“Bagaimana
kau bisa bilang kau tidak sakit kalau gaun yang kau beli saja tidak berbeda
dengan yang dia pilihkan untukmu, dulu. Aku sudah menebak kalau dia yang
menikah sejak aku membaca pesananmu tadi pagi-pagi buta. Dan aku benar,”
“Maksudmu?”
“Ingat gaun
itu, kan? Yang dia belikan untukmu, disini juga. Warnanya, modelnya…sama, coba
kau perhatikan baik-baik. Ini memang gaun baru, tapi aku sengaja membuatnya
sama dengan gaun yang itu, sama persis. Iseng, aku juga tidak tahu kenapa aku
melakukannya. Eh, kau masih menyimpannya, kan? Aku yakin kau tidak akan memilih
gaun ini jika bukan karena ada sesuatu yang aneh,”
Aku
memperhatikan cermin. Memperhatikan pantulan diriku dengan baik. Ya, ternyata gaun
ini memang sama persis dengan yang ia belikan dulu, sebagai hadiah ulang
tahunku, yang berakhir menggantung di lemari baju tanpa pernah kukenakan lagi.
Bagaimana aku bisa lupa. Sekarang, rasanya aku seperti melihat pantulan diriku
setahun yang lalu, ketika aku tengah mencobanya juga. Mencoba gaun yang sama.
Dengan dia, dia yang berada di belakangku. Melihatku mengenakan gaun ini,
mengatakan aku cantik dalam balutannya. Dengan dia, dia yang berada di
belakangku. Menyuruhku berbalik, menghadapnya, mengatakan aku cantik dalam
balutannya sekali lagi. Dengan dia, dia yang menghampiriku. Memelukku,
mengatakan kalau aku cantik dalam balutannya sekali lagi. Dengan dia, dia yang
tetap memelukku, mengatakan kalau dia sangat menyayangiku. Dengan dia, dia yang
masih tetap memelukku. Aku bisa merasakan detak jantungnya lagi. Aku bisa.
Dalam pelukannya.
“I can't
lie, you're on my mind
Stuck inside
my head
I wanna feel
your heart beat for me instead, yeah
I just die
so much inside
Now that
you're not there
I wanna feel
your heartbeat like yesterday”
“Bagaimana,
kau suka?” tanyanya, masih tetap memelukku.
“Ini, ini
terlalu berlebihan. Ini, terimakasih banyak, Nata,” ucapku perlahan.
“Mungkin
ungu memang bukan warna kesukaanmu, tapi, sama-sama. Aku senang kau
menyukainya,” dia tersenyum. Senyum itu.
“Terimakasih
banyak,” aku mengatakannya sekali lagi.
“Tidak perlu
terlalu banyak berterimakasih. Kenakan saja gaun ini kalau suatu hari aku
mengajakmu makan malam, aku akan sangat senang. Aku mencintaimu, Jo,” ucapnya.
Jelas.
“Aku juga
mencintaimu,” masih dalam pelukannya, aku memejamkan mataku.
.....
“Jo, kau
baik-baik saja?”
“Oh, ya, aku
baik-baik saja,” aku melamun lagi. Dan kali ini semuanya terlihat lebih jelas.
Aku seperti merasakannya benar-benar ada disini, lagi.
“Hm, kalau
begitu, bagaimana? Kau jadi membelinya?”
“Oh, ya, aku
jadi. Memang kau mau mengambil kembali gaun yang sudah aku coba? Hm, aku bisa
ambil gaun ini sekarang, kan?” tanyaku.
“Ya, aku
akan membungkusnya untukmu. Kau tenang saja. Kau baik-baik saja,” Rena masih
menatapku khawatir.
“Demi
apapun, aku baik-baik saja, Rena,” aku tersenyum padanya.
“Boleh aku
mengantarmu ke acara itu?” tawarnya, tanpa basa-basi.
“Kau…baiklah.
Jemput aku tepat waktu, jam tujuh malam. Terimakasih banyak,”
“Hanya untuk
memastikan kau baik-baik saja. Terimakasih kembali,” dia menepuk pundakku.
“I never did
my best to
Express how
I really felt
And now that
I know exactly what I want
You found
somebody else”
Aku memasuki
ruangan pesta pernikahan klienku, maksudku, Nata, perlahan-lahan. Aku
memperhatikan sekeliling, tidak ada yang memperhatikan kedatanganku. Lagipula
siapa yang aku harapkan akan memperhatikannya. Aku sudah memastikan seperti apa
penampilanku berulang kali sebelum berangkat. Entah kenapa, tapi aku ingin
semuanya terlihat sempurna, tanpa cela. Gaunku, riasanku, dan semua benda-benda
kecil yang aku kenakan untuk menghadiri acara ini; tas, sepatu, gelang, anting.
Kata Rena, sebelum aku turun dari mobilnya, aku cantik. Sekarang aku mendesah
ketika mengingat ucapannya. Secantik apapun, aku tetap tidak akan pernah
terlihat cantik lagi untuknya, tidak akan. Meskipun aku sudah mengganti gaun
yang aku beli tadi siang di butik Rena. Ya, aku menggantinya. Kini, aku
mengenakan gaun yang pernah Nata berikan padaku. Meskipun gaun itu sama, tapi
aku lebih nyaman memakai yang satu ini, pemberiannya. Aku juga terlihat lebih
cantik dengan ini, menurutku sendiri. Bukan lagi menurut Nata. Dan aku
menerimanya. Waktu sudah membuat semuanya berubah, dia menghentikan
kesempatanku mendengar pujian itu lagi dari bibirnya. Bernafaslah, Jo,
pengantinnya berdiri disana, tepat dihadapanmu. Acara ini berjalan sama
seperti yang sudah aku atur. Tadi siang, aku meminta Mela untuk memastikan
semua baik-baik saja, menggantikan posisiku untuk sementara karena aku harus
menjadi tamu undangan. Dan dia melakukannya dengan baik.
“My world
just feels so cold
And you find
yourself
Walking on
the wrong side of the road”
Aku mencari
tempat duduk yang sepi dan aku menemukannya dengan cepat, barisan tempat duduk
dekat pintu masuk ruangan ini, namun tepat di hadapan pengantin. Aku yang
menyusun semua ini, aku tahu dimana letak tempat duduk dan dibagian mana orang
jarang menempatinya. Aku datang sendirian, mungkin juga hanya sedikit yang aku
kenal di ruangan ini. Jadi aku tidak perlu bergabung dengan yang lainnya. Aku
hanya butuh sendirian, menikmati malam. Menyaksikannya dari jauh dengan
perasaan yang entahlah, aku tidak tahu harus merasa bahagia atas pernikahannya
atau merasa terluka karena yang berdiri disampingnya bukan aku.Aku bisa melihat
mereka dengan lebih jelas dari sini. Mereka terlihat sedang asyik mengobrol,
terlihat bahagia. Harus aku akui, mereka cocok. Dan perempuan itu tidak
terlihat seperti seseorang yang me-nomor-satu-kan pekerjaan sepertiku. Tiba-tiba
aku merasa kedinginan, aku butuh selimut, aku butuh kamarku, atau segelas café
au lait. Dulu, ketika aku merasa tidak baik-baik saja, dia selalu mengajakku
pergi ke Years ketika sore hari, menghabiskan waktu untuk berbagi perasaan,
berbagi cerita dan minum itu. Oh, tidak, aku mengingatnya lagi. Mungkin
seharusnya aku tidak datang, membiarkan diri sendiri terluka itu hal yang
buruk, kan?
“I can't
lie, you're on my mind
Stuck inside
my head
I wanna feel
your heart beat for me instead
I just die
so much inside
Now that
you're not there
I wanna feel
your heart beat like yesterday”
Aku masih
sibuk memperhatikan mereka. Sekarang mereka sedang tertawa, entah topik macam
apa yang sedang mereka bicarakan, tapi sepertinya itu hal yang menarik. Mungkin
mereka sedang merencakan kemana mereka akan pergi menghabiskan waktu atau
dimana mereka akan tinggal atau berbagai cita-cita lain yang ingin diwujudkan
sepasang pengantin baru. Aku mengalihkan pandanganku ke sekeliling. Tamu
undangan terlihat asyik dengan dirinya sendiri-sendiri, menikmati makan malam
yang aku sendiri yang memilihkan menunya. Ada yang sibuk berbincang-bincag
dengan tamu undangan lain, mungkin membicarakan pengantin baru yang terlihat
cocok itu. Atau mungkin membicarakan siapa wedding organizer yang merencakan
pernikahan ini dengan baik. Tebakan satu itu cukup menghiburku. Aku
mengembalikan pandanganku kepada mereka, Nata dan pasangannya, siapa namanya
aku tidak ingat. Lagipula, aku memang tidak perlu mengingatnya. Apa itu?
seorang tukang foto menghampiri mereka, sepertinya ingin mengambil foto mereka
karena dia segera mundur beberapa langkah dari hadapan mereka. Dan mereka
sekarang berdiri, membuat pose; bergandengan tangan, tersenyum. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana perasaan perempuan yang berdiri disamping Nata. Tukang
foto mengatakan sesuatu dari kejauhan. Mereka tertawa, saling menatap lalu
berpelukan. Oh, tidak, tukang foto sepertinya ingin mengambil foto ketika
mereka berpelukan, bernafaslah, Jo. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan.
Aku tidak ingin melihatnya. Aku sudah cukup terluka menghadiri acara ini.
“My world
just feels so cold
And I find
myself
Thinking
about the things I could have done
And it warms
my soul
When you let
me know
I'm not the
only one”
Aku baru
saja mengambil segelas minuman dan kembali ke tempat dudukku. Aku masih
memperhatikan mereka dari sini. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana mereka
berpelukan beberapa menit yang lalu. Tiba-tiba seorang pembawa acara meminta
perhatian para tamu. Oh, aku ingat urutan acaranya. Aku yang membuatnya,
atas permintaan mereka berdua yang menginginkan ada hal yang berbeda dalam
pesta pernikahan ini. Aku membuat acara lempar bunga seperti yang biasa
dilakukan pada pesta pernikahan di daerah barat. Dan ini waktunya. Benar, kan,
sekarang pembawa acara, yang juga salah satu anggota dari perusahaanku,
mempersilahkan perempuan itu mengambil bunganya, berbalik ke belakang dan
melemparnya. Bunga itu melayang tinggi, jauh sekali, tidak seperti yang aku
perkirakan. Dan, oh, tidak. Bunga itu jatuh di lantai, tepat di
hadapanku. Sekarang semua orang memperhatikanku, sesuatu yang aku kira tidak
akan terjadi, maksudku, jadi pusat perhatian. Aku memperhatikan sekelilingku,
beberapa dari tamu undangan terlihat seperti bertanya-tanya siapa aku. Rasanya,
aku ingin sekali mengatakan, “Hai, namaku Jo, aku wedding organizer acara ini
dan aku kira aku juga yang seharusnya berdiri disamping Nata.”
Pembawa
acara menghampiriku, “sepertinya mbak yang sebentar lagi menikah,” ia tertawa.
Aku ikut tertawa atas ucapannya, aku tahu itu tidak akan mungkin. Satu-satunya
yang ingin aku nikahi sekarang bersama perempuan lain tepat dihadapanku.
Pembawa
acara itu memberikan microphonenya yang lain padaku, setelah mempersilahkan
salah satu dari pengantin mengatakan sesuatu. Aku sendiri yang membuat acara
ini, pengantin akan mengatakan sesuatu pada si beruntung penerima bunga
lemparan atau yang berada di dekatnya. Yang posisi tersebut sekarang adalah
milikku. Kenapa harus aku. Microphone yang awalnya berada pada tangan
pengantin perempuan sekarang berpindah ke tangan Nata, ia mengambilnya. Oh,
apa yang akan dia katakan. Tanganku yang lain mencengkeram sisi gaunku
erat-erat. Aku sepertinya akan pingsan. Aku benar-benar sudah cukup terluka.
Nata membuka mulutnya, mulai mengatakan sesuatu.
“Perkenalkan,
tamu undangan yang sudah bersedia menghadiri acara pesta pernikahanku malam ini,
perempuan yang beruntung menerima bunga pernikahan kami adalah wedding organizer
yang membantuku untuk acara ini, tanpanya mungkin semua tidak akan berjalan
sebaik ini dan kalian tidak akan menikmati malam ini. Terimakasih banyak, Jo,”
ia mengangguk padaku.
“Kebetulan
perempuan ini, Jo, adalah teman lama yang kira-kira sudah setahun lamanya tidak
aku ketahui bagaimana kabarnya. Kami cukup dekat, dia seorang pendengar yang
baik. Namun, walau bagaimanapun dia sangat menyukai pekerjaannya. Terakhir kami
bertemu, dia sedang dalam waktu memperbaiki, semakin memperbaiki, perusahaan yang
ia kelola. Mungkin karena kesibukan itu kami jadi jarang sekali bertemu,” aku
yakin dia sedang menatapku, dari jauh.
“Ternyata
sekarang, setahun setelahnya, aku menemukan nama perusahaannya sudah sehebat
ini. Kerja keras yang baik selalu menghasilkan sesuatu yang lebih dari
perkiraan kukira. Selamat ya, Jo, kerja kerasmu sekarang berhasil. Aku yakin
kau hidup lebih bahagia dari sebelumnya,” aku yakin dia sedang tersenyum.
“Aku
menemukan nama perusahaanmu melalui internet. Beberapa komentar yang aku
temukan di dunia maya juga mengatakan pekerjaanmu bagus. Aku kira nama
perusahaanmu sudah berubah, jadi sebelumnya aku tidak mengira akan menemukanmu
duduk disana ketika kami datang ke tempatmu,”
“Aku juga
tidak mengira ternyata dirimulah yang menerima bunga itu. Maksudku, bunga itu
akan jatuh di depanmu. Padahal, kau sendirilah yang mengatur acara ini,” ia
tertawa.
“Seperti yang
banyak orang katakan tentang bunga pernikahan yang dilempar, kau yang sebentar
lagi akan menikah. Menyusulku. Selamat, aku harap kau mendapatkan seseorang
yang sangat mengertimu,” dia tersenyum. Menurunkan microphonenya. Sepertinya ia
sudah selesai mengatakan sesuatu. Cukup panjang dan aku masih mengingat
seluruhnya. Kata-katanya seperti sedang mengenang sesuatu. Para tamu undangan
bertepuk tangan, menatap Nata lalu aku, tersenyum. Oke, aku jadi pusat perhatian
malam ini, meski sebentar. Pembawa acara yang dari tadi berdiri disampingku,
mempersilahkan aku untuk mengatakan sesuatu untuk membalas ucapan panjang lebar
dari Nata. Aku mengangguk. Mengarahkan microphone pada bibirku.
“Terimakasih
juga telah mengundangku ke acara bahagia ini. Seharusnya aku berdiri di
belakang sana, memastikan semua baik-baik saja. Bukan sebagai tamu undangan,”
aku memaksakan untuk tertawa.
“Terimakasih
juga untuk doanya, aku harap aku akan mendapatkan seseorang yang bisa
mengertiku dan menyusulmu, menjadi pengantin,” aku kembali tertawa. Meskipun
sebenarnya aku sangat ingin menangis ketika mengatakannya.
“Ngomong-ngomong,
ingatanmu bagus, aku yakin kau tidak akan pernah melupakan teman lamamu ini.
Tentang bagaimana sibuknya aku sehingga kita jarang bertemu di waktu lalu
sepertinya bukan hal yang menyenangkan untuk dibahas. Sekarang kau menemukan
aku lagi dan kalau kau butuh pendengar yang baik, kau bisa menghubungiku. Aku
tetap akan ada untukmu. Bukankah sebagai teman, tidak boleh saling melupakan? Tapi
kukira kau tidak butuh itu, lagipula, sekarang kau punya pendamping hidup yang
baik dan lebih dari sekedar teman, yang sekarang berdiri disampingmu. Selamat
untuk pernikahan kalian, semoga kalian bahagia,” mereka saling menatap dan
tersenyum ketika aku mengatakan ini. Aku melihatnya dengan jelas. Ini menyakitkan.
“Oh, ya, aku
tetap dengan nama yang dulu, Casamanta. Kalau-kalau ada dari tamu undangan yang
hadir disini membutuhkan, kalian bisa langsung menelepon tempatku bekerja dan
aku akan membantu kalian. Tidak apa-apa, kan, aku berpromosi disini?” aku
tertawa. Mereka dan tamu undangan juga tertawa. Mungkin tidak menyadari sesuatu
dari ucapanku tadi. Ucapan yang sebenarnya adalah isi hati yang paling dalam.
Paling jujur tapi juga paling menyakitkan.
“I can't
lie, you're on my mind
Stuck inside
my head
I wanna feel
your heart beat for me instead, yeah”
Aku sudah
cukup terluka membantu acara pernikahanmu. Aku sudah berpura-pura sebaik
mungkin agar tidak terlihat seperti ada yang salah. Aku juga tidak ingin
perempuan itu tahu tentang masa lalu itu, masa lalu kita. Yang sejujurnya,
bukan hanya sekadar teman lama. Aku juga berusaha untuk tidak menangis ketika
menginjakkan kakiku untuk pertama kali ke ruangan ini. Aku juga berusaha untuk
tetap bersikap biasa saja, ketika mendengarmu mengatakan hal-hal semacam itu
tadi. Aku juga berusaha membuat suaraku terdengar baik meskipun sebenarnya aku
bergetar. Kalau boleh pergi, aku akan segera pergi setelah mengatakan apapun
yang aku katakan tadi. Tiba-tiba, Nata mengangkat lagi microphonenya. Aku tidak
bisa menebak apa yang akan dia katakan. Kurang menyakitkankah ucapan tadi?
“Ngomong-ngomong,
Joy Casamanta, untuk sekian lama aku tidak melihatmu, sekarang kau terlihat lebih
dewasa. Kau juga terlihat cantik dalam balutan gaun ungu itu. Mungkin ini
pertanyaan konyol, tapi, boleh aku tahu mengapa kau mengenakan gaun satu itu?
Apakah gaun itu berarti untukmu?” dia menatap perempuan itu, sambil tertawa.
Perempuan itu meraih microphone dan mengiyakan apa kata Nata, aku cantik.
Kemudian mereka berdua tersenyum. Padaku. Aku tidak menyangka dia akan
menanyakan hal satu itu. Aku tidak menyangka dia akan mengatakan kalau aku
cantik. Aku mencoba menenangkan diri dan mencoba menjawabnya.
“Ini…ini
gaun lama. Dan ini masih jadi salah satu kesukaanku meskipun aku sudah lama
tidak memakainya. Ini pemberian dari seseorang yang sampai sekarang masih
sangat aku cintai. Namun sayang sekali, dia sudah pergi dan itu semua salahku,
aku yakin kau tahu siapa dirinya. Hm, aku tidak tahu dia masih menyisakan
sedikit tempat untukku dihatinya atau tidak, tapi kalau memang iya, aku yakin
dia juga akan menanyakan hal yang sama sepertimu,” aku bergetar, aku
benar-benar tidak bisa menguasai diriku lagi. Aku mengatakan sesuatu yang lebih
dari perkiraanku. Aku bisa lihat dari sini dia terlihat aneh, seperti
kebingungan harus menjawab apa, tapi dia bisa mengendalikan dirinya dengan
baik. Tidak ada yang menyadari apa yang sebenarnya sedang kami bicarakan. Semua
tamu bertepuk tangan, menatapku. Ada yang tersenyum. Seorang ibu yang aku tidak
tahu siapa, yang berdiri tak jauh dariku, mendekatiku, menepuk pundakku seolah
mencoba menguatkanku, seperti yang Rena lakukan waktu itu. Hal yang sama dengan
apa yang biasa kau lakukan dulu padaku.
“I just die
so much inside
Now that
you're not there
I wanna feel
your heart beat like yesterday”
Ponselku
berbunyi, suaranya menyusup diantara suara tepukan tangan. Aku menyerahkan
microphone kembali kepada si pembawa acara. Ia menerimanya. Aku mengambil tas
tanganku, membukanya, menemukan ponselku berkedip-kedip, tetap berbunyi. Aku
mengambilnya, memberi isyarat pada pembawa acara, juga Nata, yang masih berdiri
disana tanpa menjawab perkataanku. Pembawa acara mengangguk, mengatakan acara lempar
bunga yang berujung menjadi jumpa teman lama antara klien dan wedding organizer
sudah selesai. Ia melanjutkan acara selanjutnya. Meninggalkanku yang berdiri,
menjawab telepon. Tamu undangan juga berhenti memperhatikanku, kembali sibuk
dengan dirinya masih-masing.
“Bagaimana?
Kau sudah selesai? Aku menunggumu diluar,” suara diseberang, Rena.
“Sudah. Aku
ingin pulang. Aku akan segera keluar,” aku mengambil tas tanganku. Dengan ponsel tetap menempel di telinga, aku berjalan keluar ruangan. Aku sudah
selesai, Nata. Aku sudah mengatakan apa yang seharusnya aku katakan meskipun
sudah terlambat. Waktu memang tidak pernah berpihak padaku. Aku sudah cukup
terluka, aku butuh bernafas sekarang. Satu yang masih jadi pertanyaanku,
mengapa dia menanyakan tentang gaun ini. Apakah perkiraanku benar? Dia
menanyakannya karena dia masih menyisakan tempat untukku. Ah , sudahlah.
Bukankah tidak ada yang lebih buruk dari saling mencintai namun berusaha untuk memendamnya
dalam-dalam dan tidak saling memiliki? Ku harap dia bahagia. Tidak perlu
khawatir, aku sudah terbiasa untuk seperti ini dan aku bahagia. Bahagia bisa
melihatnya setelah sekian lama tidak bertemu. Bernafaslah, Jo.
Azmi, Juni 2012.
PS: Terimakasih untuk satu lagu dari Maroon 5 yang membuatku bisa membuat ini. Dan oh, ya, Cece, apa ini sesuai dengan keinginanmu? :D
you're still my favorite writer<3
ReplyDeleteyou're my favorite reader <3 thank you so much!
ReplyDeleteMik, +100 buat ini..bagus sekali! :D jadiin novel boleh dong, aku jadi pembeli pertama deh hahaha
ReplyDeleteini requestnya cece? buuuuuaguuuuus miiiiiik:D
ReplyDeleteNdak kok, pasti masih ada kurangnya:3 Tapi terimakasih banyak Meidy, Tria! Terimakasih juga sudah mau baca!:D
ReplyDelete