Aku sudah memperbaiki pintu rumahku berkali-kali. Memperbaikinya dari atas ke bawah, tanpa melewatkan satu bagian pun. Melakukannya di setiap tahun di tanggal yang sama. Memandanginya dengan cara yang tidak berubah. Sebenarnya, aku sudah mencoba mengubah pandanganku berkali-kali. Tapi aku tidak pernah berhasil, malah semakin menjadi-jadi tanpa ampun. Aku juga mencoba memaafkannya tapi nyatanya sama saja. Jadi anggaplah aku tak bisa melakukan apapun kecuali membenci, ya, membenci memang hal paling mudah.
Dulu, pintu rumah adalah titik kesukaanku. Aku akan membukanya di setiap pagi dan sore. Pagi adalah saat ia pergi, saat aku melambaikan tangan. Aku akan berdiri di samping pintu rumah dan mendoakan agar harinya menyenangkan. Kemudian ia mencium keningku dan mengingatkanku untuk menutup pintu rumah serapat-rapatnya. Aku melakukannya, tak pernah ingkar. Sore adalah saat ia pulang, saat aku menyambutnya dengan rindu. Aku akan berdiri di samping pintu rumah dan bertanya bagaimana harinya. Kemudian ia mengusap rambutku dan mulai bercerita sembari menutup pintu rumah. Serapat-rapatnya agar tak ada yang mencuri dengar ceritanya.
Dulu, pintu rumah adalah kebahagiaanku. Ia mengatakan bahwa pintu rumah tak boleh terlihat menyedihkan. Meskipun pintu rumah tidak terbuat dari kayu terbaik, pintu rumah tetap harus dirawat. Maka kami memperbaikinya di setiap tahun, di tanggal yang sama. Aku memilih kayu, ia memasangnya. Aku memperhatikan, ia sesekali menjelaskan. Tentang bagaimana memperbaiki pintu rumah, bagaimana menjaganya dalam setahun, dan bagaimana membuatnya menjadi sangat berarti. Saat pintu rumah selesai diperbaiki, dia akan memelukku dan berterimakasih. Katanya, "jaga pintu rumahmu, jangan lupa untuk selalu membukanya untukku."
Dulu, pintu rumah memang titik kesukaan dan kebahagianku. Namun hanya sampai pada hari itu. Hari yang tidak kuingat namanya, hari yang apapun namanya tidak penting untukku. Aku hanya mengerti bahwa langit terang, tidak mendung seperti dalam buku-buku yang menggambarkan perpisahan. Aku hanya mengerti bahwa aku melakukan hal-hal di pagi hari seperti biasanya dan tidak ada hal ganjil terjadi seperti dalam cerita-cerita mengenai firasat. Aku hanya mengerti bahwa dia terburu-buru hingga lupa mengecup kening dan mengingatkan untuk menutup pintu rapat-rapat. Aku hanya mengerti bahwa aku menunggu dia seperti yang biasa kulakukan. Aku hanya mengerti bahwa dia pulang terlalu larut dan kelelahan hingga lupa berbagi cerita.
Kemudian, aku hanya ingat langit tetap terang dan tidak ada hal ganjil terjadi. Aku hanya ingat bahwa dia pergi terburu-buru dan pulang kelelahan. Aku hanya ingat aku tidak bosan menunggu dia seperti yang biasa kulakukan. Aku hanya terus ingat bahwa langit tetap saja terang dan hal ganjil tak pernah terjadi. Aku hanya terus ingat bahwa dia pergi selalu terburu-buru dan pulang selalu kelelahan. Aku hanya terus ingat bahwa aku menunggunya seperti yang seharusnya, seperti yang biasa kulakukan. Selalu seperti itu hingga aku tidak lagi ingat sudah berapa lama kulalui hari-hari seperti itu. Selalu seperti itu hingga aku tidak lagi ingat bahwa pintu rumah kami menanti diperbaiki. Menanti terlalu lama.
Azmi, June 2019
Written on May 2015
Tuesday, June 11, 2019
Saturday, June 8, 2019
My Life in Pack
I was packed off to faraway for sorrow
But I have packed up my stuff
It was not a pack of times nor memories
It was you packed with joy, laugh, firework, and else
Things which could never be packed out even by heartbreak
Things which could never be packed in even by despair
Azmi, June 2019
Written on July 2018
But I have packed up my stuff
It was not a pack of times nor memories
It was you packed with joy, laugh, firework, and else
Things which could never be packed out even by heartbreak
Things which could never be packed in even by despair
Azmi, June 2019
Written on July 2018
Subscribe to:
Posts (Atom)