Sudah lama sekali. Tapi keadaannya sama, kami berada di
tahun terakhir sekolah dan sedang bersiap-siap untuk ujian nasional. Dulu,
siapa yang berhasil membuatku percaya bahwa aku tidak payah? Siapa yang
mengingatkan kalau aku bisa bahkan lebih dari yang aku kira? Dari sekian banyak
orang, dia yang paling mengena. Itu kenapa aku sangat menyayanginya, waktu itu.
Sayangnya, waktunya singkat sekali. Yang jelas, perasaanku
buyar ketika melihatnya berdiri bersama seseorang yang jauh lebih baik dariku
dari sisi manapun. Dia bilang, apa yang orang katakan itu bohong. Nyatanya,
satu-satunya yang tidak bisa dipercaya, ya, dia. Lalu, coba tebak siapa yang
disalahkan atas semua hal? Aku. Itu kenapa aku berjanji pada diriku sendiri
untuk tidak akan menyayangi seseorang terlalu banyak lagi.
Mungkin terdengar drama kalau aku mengatakan bahwa sejak dia
pergi, ada beberapa hal yang berubah. Tapi kenyataannya memang seperti itu. Aku
jadi merasa kalau aku tidak perlu terlalu percaya pada janji. Siapapun bisa
mengucapkannya tanpa berpikir, siapapun bisa saja tiba-tiba membatalkannya,
siapapun bisa dengan mudah melupakannya. Aku jadi merasa kalau apa yang orang
bilang bisa dipertimbangkan, aku tidak boleh terlalu percaya pada satu orang.
Karena terkadang yang paling kau percaya adalah yang membohongimu
habis-habisan. Aku jadi merasa kalau menangis itu perlu. Aku sudah kapok
memendamnya, rasanya lebih menyiksa dibanding membiarkannya buncah. Yang terakhir,
aku jadi merasa kalau bersedih karena seseorang keluar dari hidup adalah
sesuatu yang buruk. Karena kalau memang dia baik untuk hidup, dia akan tinggal.
Nah, sekarang, kalau kepergiannya sudah membawa beberapa
perubahan, kenapa dia harus kembali?
To summarize, kalau aku bilang tidak bisa, aku benar tidak
bisa. Kalau aku bilang tidak mau, aku benar tidak mau. Silahkan mencoba
berkali-kali, kamu tetap tidak akan bisa jadi orang yang sama seperti waktu itu
bagiku. Maaf sekali kalau ini terdengar menyakitkan, tapi ini lebih baik
daripada membuatmu melakukan sesuatu yang sia-sia.